SPIRITUALITAS RAMADHAN : Ketika Hati Terjaga, Ia Menjadi Sahabat Dan Penasehat

Salah satu unsur terpenting dalam kehidupan manusia untuk mencapai puncak kebahagiaan dunia dan akhirat adalah hati, karena hati menjadi salah satu barometer baik buruknya seseorang. Penjelasan ini dapat kita lihat pada hadis Rasulullah saw.;
أَلَا إِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ, وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ؛ أَلَا وَهِيَ القَلْبُ
“ _Ingatlah, dan sesungguhnya di dalam jasad itu terdapat segumpal darah. Jika ia baik, baik (pula) seluruh tubuh. Dan bila ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati.”. (Muttafaqun Alaih)._
Hadis lain yang senada, bahkan lebih tegas menyatakan bahwa hati adalah titik sentral penilain Allah dalam melihat kualitas hidup seseorang adalah:
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ ». رواه مسلم
“ _Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian”. HR. Muslim._
Berdasarkan dalil tersebut, maka dapat dipahami bahwa hati memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan, sehingga kita harus senantiasa menjaga kesuciannya agar dapat memantulkan cahaya Ilahi untuk memberikan penerangan dalam kehidupan ini.
Imam al-Gazali menjelaskan bahwa hati seperti cermin, jika kotor maka ia tidak akan mampu menerima pantulan cahaya Ilahi, namun jika hati suci, maka ia dapat memantulkan cahaya Ilahi yang berfungsi sebagai lentera hidup. Dalam hadis Rasulullah saw. dijelaskan:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِى قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِى ذَكَرَ اللَّهُ ( كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ)
_“Seorang hamba apabila melakukan suatu kesalahan/dosa, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan “ar-raan” yang Allah sebutkan dalam firman-Nya (yang artinya), ‘Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka’ (Tirmizy, Abu Daud dan Ahmad bin Hanbal)_
Selain hadis di atas, terdapat ayat al-Qur’an yang menjelaskan bagaimana pentingnya peran hati dalam menangkap pengetahuan dan peringatan Allah Swt. baik buruk prilaku itu adalah peran hati, sebagaimana dalam Qs. Al-Haj: 46
اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَتَكُوْنَ لَهُمْ قُلُوْبٌ يَّعْقِلُوْنَ بِهَآ اَوْ اٰذَانٌ يَّسْمَعُوْنَ بِهَاۚ فَاِنَّهَا لَا تَعْمَى الْاَبْصَارُ وَلٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوْبُ الَّتِيْ فِى الصُّدُوْرِ
_Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang diatas dalam dada. (Al-Haj: 46)._
Dari ayat dan hadis di atas, sudah sangat cukup meyakinkan kita bahwa hati bagian terpenting manusia dalam menjalani kehidupan ini, sehingga kita harus mampu dan membiasakan berdialog dengan hati kita sendiri dan bertanya kepada hati setiap apa yang akan dilakukan, karena setiap kita berdialog dengannya, pasti ia akan respons dan memberikan jawaban terbaik yakni selalu memberikan jawaban yang benar. Hal ini dapat kita lihat pada Qs. An-Najm: 11;
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَاٰى
_Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya._
Demikian juga penjelasan Imam al-Gazali dalam Ihya’ pada hadis Rasulullah saw.:
إِذَا أَحَبَّ اللهُ تَعَالىَ عَبْدًا جَعَلَ لَهُ وَاعِظًا مِنْ نَفْسِهِ وَزَاجِرًا مِنْ قَلْبِهِ يَأْمُرُهُ وَيَنْهَاهُ
_Apabila Allah swt. mencintai seorang hamba, niscaya Allah menjadikan penasehat dalam dirinya sendiri dan pencegah dalam hatinya, meynuruh dan melarangnya._
Berdasarkan hadis ini, Imam al-Gazali menjelaskan bahwa seorang hamba yang dicintai oleh Allah akan memiliki kepekaan spiritual (penasehat/control) terhadap segala aktivitasnya yang bersumber dari dalam dirinya.
Dengan demikian, pada hakikatnya manusia mengetahui dirinya jika melakukan kesalahan seperti berzina, mengambil hak orang lain, tidak memberikan hak orang lain, mencuri dan-lain-lain. Pengetahuan itu bersumber dari penasehat dari dalam dirinya yaitu hati. Namun terkadang nasehat dan peringatan itu tidak diperdulikan, sehingga ia tetap melakukannya. Salah satu indikator bahwa manusia mengetahui dirinya jika melakukan kesalahan, seperti ketika ia mengabil barang orang lain, maka ia sembunyikan atau menutup-nutupi, artinya bahwa ia mengetahui yang dilakukan adalah salah.
Oleh karena itu, senantiasa menjaga dan mensucikan hati menyebabkan hati akan hidup (terjaga). Setelah hati hidup, kita akan memperoleh manfaat yang sangat besar yakni *_pertama_* , hati akan menjadi sahabat dan teman berdialog yang selalu menyertai kita. *_Kedua_* , hati sebagai sahabat yang sejati akan senanti memberikan nasehat yang terbaik setiap langkah yang kita pilih dan nasehatnya selalu relevan dengan semua kondisi, tempat dan jenis profesi. Selanjutnya seperti apa kita merespons nasehat dari sahabat “Hati” konsisten atau tidak, maka kitalah penentunya. (Ramadhan, Mamuju, 5 Maret 2025).
#PKMJP salafiyah parappe putri