SPIRITUALITAS MANUSIA MODERN: Simbol-Simbol Sakral Imam Lapeo

SHARE

Pada tulisan terdahulu, telah dijelaskan bahwa dalam tradisi ritual keagamaan orang-orang Mandar, ditemukan adanya sakralisasi (mengkeramatkan) terhadap seseorang yang telah diakui kapasitas keulamaannya atau seseorang yang dianggap “to salama” (wali) dengan kriteria tertentu. Dalam konteks di tanah Mandar ini, maka kita melihat pada seorang tokoh yang populer kita kenal dengan Imam Lapeo. Pensakralan yang dimaksud, tentu saja melalui simbol-simbol sakral yang ditinggalkan oleh sang Imam.

Mukhlis Latif telah mengemukakan dalam hasil penelitiannya bahwa ditemukan beberapa bentuk perilaku pensakralan terhadap Imam Lapeo melalui simbol-simbol sakral yang ditinggalkan oleh beliau. Perilaku tersebut terbentuk disebabkan oleh adanya koinsidensi yakni masuk akal walaupun masih bersifat gaib dan misterius.

Bentuk sakralisasi terhadap simbol-simbol sakral yang ditinggalkan oleh sang Imam, dapat dilihat pada tiga hal, yakni makam, boyang kayyang (rumah besar) dan masjid.

Pertama, adalah pensakralan terhadap simbol sakral yang berupa makam Imam Lapeo. Makam Imam Lapeo diperlakukan sebagai tempat suci yang sangat dihormati. Mereka datang berziarah dengan tujuan yang berbeda-beda, mereka berdoa bersama-sama untuk mendapatkan berkah, baik dalam keadaan sukses maupun dalam keadaan gagal. Pelaksanaan ritual ziarah kubur tersebut dilaksanakan setelah sebelumnya mempersiapkan berbagai makanan, buah-buahan, air putih, dan telur, serta tidak ketinggalan nasi ketan (sokkol) yang di atasnya diletakkan sebutir telur ayam kampung yang telah direbus. Di sekitarnya diletakkan beberapa sisir pisang dalam satu baki (mesa kappar kayyang).

Perilaku tersebut merupakan suatu refleksi pensakralan orang-orang Mandar yang diyakini sebagai salah satu jalan untuk mendapatkan berkah dari “to salama”. atau diyakini telah bertemu dengan beliau melalui berziarah ke kuburnya. Mereka bertawassul menjadikan Imam Lapeo sebagai perantara dengan Allah melalui berziarah dan berdoa di kuburnya.

Kedua, adalah pensakralan terhadap simbol sakral yang berupa boyang kayyang (rumah besar). Rumah yang dimaksud adalah rumah Imam Lapeo yang berbentuk rumah panggung. Bagian bawah digunakan sebagai hunian, sedangkan bagian atasnya digunakan bagi peziarah yang datang. Rumah tersebut dikenal dengan sebutan boyang kayyang. Posisi rumah tepat di depan masjid, tempat makam Imam Lapeo berada.

Dilihat dari bentuk rumah, maka boyang kayyang (rumah besar) ini terpetak menjadi tiga bagian atau kamar yang memanjang ke belakang. Tiap-tiap petak memiliki pintu tersendiri, sehingga jika dilihat dari depan, tampak terlihat tiga pintu dengan satu buah tangga, pada posisi tengah, miring ke kanan.

Peziarah yang datang, terlebih dahulu singgah di rumah ini, sebelum menuju makam Imam Lapeo. Pada setiap petak boyang kayyang, terdapat di dalamnya anak-anak Imam Lapeo sebagai juru doa. Para peziarah menemui atau memilih salah seorang dari penanggungjawab di antara tiga petak, kemudian menyampaikan hajatnya untuk berziarah ke makam Imam Lapeo. Selanjutnya juru doa tersebut mendoakan sesuai maksud dan tujuannya, disertai dengan persiapan berupa makanan seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Setelah prosesi baca doa, peziarah kemudian melanjutkan menuju makam Imam Lapeo untuk berdoa dan menyampaikan hajatnya kepada Allah swt. dengan berwasilah kepada Imam Lapeo, dengan harapan doanya terkabul.

Ketiga, adalah pensakralan terhadap simbol sakral berupa masjid. Salah satu peninggalan beliau yang sangat monumental adalah masjid. Masjid ini berlokasi tepat di pinggir jalan raya, sehingga memudahkan seseorang untuk singgah melaksanakan salat ketika waktu salat tiba. Sebagian musafir, sengaja untuk bisa singgah di masjid Imam Lapeo untuk melaksanakan salat lima waktu, sekaligus berharap bisa mendapat berkah Imam Lapeo. Selain itu, mereka juga menyisihkan sebagian harta sebagai infak kepada masjid dengan harapan bisa mendapat berkah berupa rezeki lebih banyak.

Berdasarkan pada realitas pensakralan masyarakat Mandar terhadap simbol-simbol sakral yang ditinggalkan oleh Imam Lapeo, dianggap sebagai bentuk penghormatan atas eksistensi kewalian beliau dan sebagai media bertawassul kepada Allah Swt. untuk mendapatkan keselamatan dan keberkahan. (Majene, 16 Juli 2020).