SPIRITUALITAS MANUSIA MODERN: Menyoal Sakralitas Imam Lapeo dalam Pemikiran Mukhlis Latif

Dalam tradisi ritual keagamaan orang-orang Mandar, ditemukan adanya sakralisasi (mengkeramatkan) terhadap seseorang yang telah diakui kapasitas keulamaannya atau seseorang yang dianggap wali. Realitas ini bukanlah hal yang baru, namun hal tersebut telah muncul sejak dahulu, dan sakralisasi seperti ini, juga ditemukan pada daerah-daerah selain Mandar. Untuk mengetahui secara komprehensip tentang perilaku sakralitas, maka kita akan melihat gagasan dan pemikiran Dr. Mukhlis Latif yang tertuang dalam hasil penelitian beliau yang berjudul “Sakralitas Imam Lapeo, Perilaku dan Simbol Sakral Masyarakat Mandar”. Beliau adalah salah satu putra daerah Mandar dan lahir di daerah Kandeapi, Tinambunng, sehingga kita meyakini bahwa beliau sangat memahami betul perilaku sakralitas orang-orang Mandar.
Di dalam karyanya tersebut, Mukhlis Latif secara konsen penjelaskan berbagai hal yang berkenaan dengan sakralisasi masyarakat Mandar terhadap Imam Lapeo, mulai dari pranata sosial di Mandar, Pembauran Islam dengan budaya Mandar, sakral dan profan dalam perspektif masyarakat Mandar, pencapaian sufistik dan karamah Imam Lapeo, karya dan kontribusi intelektual Imam Lapeo, aktualisasi tarekat Syaziliyah ala sufi moderat Imam Lapeo, simbol dan perilaku sakral terhadap Imam Lapeo dan kritik sakralisasi Imam Lapeo dan relevansi tasawufnya dengan masa depan.
Dari poin-poin bahasan tersebut, penulis tertarik pada poin bahasan “sakral dan profan dalam perspektif masyarakat Mandar”. Penulis melihat bahwa perilaku pensakralan selalu terkait pada dua hal yakni perilaku sakral dan objek yang disakralkan. Selanjutnya, pada objek pensakralan dibedakan pada beberapa bagian yakni sakralisasi terhadap benda, ruang dan waktu, manusia dan Allah Swt. Pada setiap objek yang disakralkan, masing-masing memiliki alasan pensakralan yang berbeda-beda, misalnya pensakralan terhadap benda, karena diyakini benda tersebut memiliki kekuatan magis, sedangkan pensakralan terhadap manusia, karena diyakini memiliki karamah dan dapat memberi berkah (barakka’). Sedangkan pensakralan terhadap Allah Swt, merupakan ketaatan yang mutlak pada wilayah Ilahiyah yang diyakini seabagai sumber segala sesuatu, sehingga menaruh harapan kebaikan tertinggi pada-Nya.
Sakralisasi terhadap manusia, lebih jauh diuraikan oleh Kadir Ahmad sebagaimana dikutip oleh Mukhlis Latif bahwa manusia yang disakralkan adalah manusia yang telah melampaui manusia pada umumnya, memiliki kemampuan menerjemahkan masa depan dan mampu melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh manusia biasa atau di dalam ilmu tasawuf disebut kasyaf yakni tersingkapnya hijab antara Tuhan dengan hamba-Nya. Pensakralan yang dilakukan masyarakat terhadap manusia seperti yang disebutkan, tentu saja melalui simbol-simbol sakral yang ditinggalkan seperti makam atau kuburan, jika orang yang disakralkan telah meninggal dunia. Berziarah ke makam merupakan bagian dari proses sakralisasi dengan sebuah pengharapan agar bisa mendapat rahmat dari Allah Swt, melalui tawassul berkah dengan kekasih Allah, yang popular kita kenal dengan istilah “to salama”.
Dalam konteks daerah Mandar, telah dikenal seorang Ulama besar bahkan diyakini oleh masyarakat sebagai seorang wali yakni Imam Lapeo yang bernama lengkap KH Muhammad Thahir. Perilaku sakralisasi terhadap Imam Lapeo tidak terlepas dari peranan sosok seorang Imam Lapeo dalam menyebarkan dan mengembangkan Islam di Mandar dan status sosial-keagamaan yang beliau sandang sebagai seorang “to salama”. Sehubungan dengan itu, Mukhlis Latif membagi pensakralan terhadap Imam Lapeo menjadi tiga macam yakni, pensakralan terhadap makam (ku’bur) Imam Lapeo, pensakralan terhadap rumah (boyang kayyang) Imam Lapeo, dan pensakralan terhadap masjid Imam Lapeo.
Selain dari itu, pensakralan terhadap Imam Lapeo, juga bisa dilihat dari strata sosial yang secara garis besar di bagi atas dua kategori. Pertama, kategori negeri yaitu pemerintah, politisi dan PNS. Kedua, kategori swasta yaitu masyarakat awam, pedagang atau pengusaha, kaum intelektual dan murid-muridnya. Kategori negeri, termasuk di dalamnya pemerintah dengan bentuk pensakralan berupa pemberian bantuan. Politisi dengan bentuk pensakralan memberi dorongan kepada masyarakat untuk meneladani semangat juang sang imam dan semangat perubahan melalui Pendidikan. Pegawai negeri sipil (PNS), dengan jalan pensakralan berziarah ke makam dan berdoa kepada Allah dengan harapan mendapat keselamatan diri dan keluarga serta karir yang baik.
Sedangkan kategori swasta termasuk di dalamnya masyarakat awam dengan bentuk pensakralan berziarah dan menyisihkan sebagian hartanya untuk sumbangan ke masjid Imam Lapeo dengan harapan hajatnya terpenuhi. Pengusaha atau pedagang dengan bentuk pensakralan lebih pada pemberian sumbangan dengan harapan rezeki dan keuntungan semakin mudah datang. Kaum intelektual dengan bentuk pensakralan lebih pada pengkajian dan penelitian terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Imam Lapeo. Kelompok terakhir adalah murid-muridnya. Mereka mengambil bentuk pensakralan lebih pada konsistensi mengamalkan ajaran agama dan amalan-amalan zikir. (Mukhlis Latif, Sakralitas Imam Lapeo, h. 218-230).
Sakralisasi masyarakat Mandar semakin kuat, ketika kisah-kisah kekeramatan Imam Lapeo yang di luar kemampuan dan nalar manusia kebanyakan, sampai kepada mereka. Kisah-kisah kekramatan Imam Lapeo sesungguhnya sangat banyak, namun pada tulisan ini hanya diketengahkan dua kisah. Di antara kisah kekeramatan yang disematkan kepada beliau adalah kisah yang disampaikan oleh seorang cucu beliau yang bernama Alimuddin Abbas. Suatu ketika di daerah Lapeo, mewabah sejenis penyakit menular yang sangat berbahaya. Bagi orang Lapeo kala itu, penyakit tersebut diidentifikasi sebagai penyakit yang sangat aneh, pengobatan medis maupun tradisional pada saat itu dianggap kurang akurat untuk menyembuhkannya. Penyakit berbahaya tersebut, dalam satu hari diperkirakan menelan korban hingga lima orang. Keadaan ini sangat meresahkan masyarakat, sehingga mereka berinisiatif menemui KH. Muhammad Thahir, Imam Lapeo untuk mengadukan peristiwa tersebut.
Setelah menerima pengaduan, KH. Muhammad Thahir, Imam Lapeo merasa sangat prihatin, dan dengan sigap segera memerintahkan untuk menyiapkan sebuah kawali (sejenis tempayan yang terbuat dari tanah liat setelah melalui proses pembakaran), lalu diisi dengan air minum, setelah itu, KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo memejamkan mata seraya mengangkat kedua tangannya dan berdo’a, selanjutnya beliau meniup air itu sebanyak tujuh kali. Kemudian air tersebut diminumkan kepada yang terkena penyakit aneh tersebut. Berkat pertolongan Allah Swt, semua “pasien” mengalami kesembuhan.
Kekeramatan lain Imam Lapeo, juga terekam ketika di Mandar, tepatnya di daerah Lapeo, KH. Muhammad Thahir, Imam Lapeo sementara memberikan pengajian, tiba-tiba beliau menghentikan pengajian tersebut, dan meninggalkan jamaahnya ke halamam depan masjid, dalam pandangan jamaahnya bahwa beliau dalam posisi menatap ke angkasa seraya melambai-lambaikan tangannya. Kemudian beliau kembali masuk dan melanjutkan pengajian yang sempat terhenti sejenak, namun sebelum dimulai, spontanitas seorang muridnya menanyakan laku ritual Sang Imam tadi, kemudian beliau menjawab bahwa dia sedang berusaha menolong sebuah kapal pinisi yang sedang oleng dan hampir tenggelam di tengah lautan karena dihantam badai topan (lembong tallu).
Berselang beberapa hari kemudian, datang seorang dari wilayah Bugis bertamu ke rumah beliau untuk mengucapkan terima kasih, di mana menurut pengakuannya bahwa beberapa hari yang lalu kapalnya hampir tenggelam dihantam badai di selat Makassar, dan menurut penglihannya kala itu, bahwa yang memberinya pertolongan adalah KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo yang konon tiba-tiba muncul dalam posisi berdiri di buritan kapal, sambil menahan hempasan badai dan topan. (Mukhlis Latif, Sakralitas Imam Lapeo, h. 93-99).
Kisah-kisah tersebut, merupakan simbol-simbol kekeramatan yang akan mempertahankan eksistensi sakralisasi terhadap seseorang yang diyakini memiliki kedekatan dengan Allah Swt, yang dinilai dari komitmennya terhadap sosial-keagamaan dan kesuciannya dalam akhlak, sehingga layak menyandang gelar “to salama”. (Majene, 4 Juli 2020).
Penulis adalah Dosen STAIN Majene dan Alumni Salafiyah Parappe