SPIRITUALITAS MANUSIA MODERN: Menemukan Tuhan di Balik Filsafat dan al-Quran bag. 2

SHARE

Tuhan dalam Perspektif Filsafat

Pada bagian kedua tulisan ini, kita akan melakukan kajian terhadap pandangan para pilosof tentang Tuhan dan kita memulai dari teori filsafat ketuhanan Plotinus. Teori ketuhanan Plotinus kita kenal dengan teori “Yang Esa” yang dilandaskan pada dua dialektika, yakni “dialektika menurun” (a way up, al-Jadal al-Sha’id). Dialektika menurun ini digunakan untuk menjelaskan “wujud tertinggi” (the highest being), atau the first, atau at-tabi’at al-ula, atau wujud al-awwal) dan cara keluarnya alam daripadanya. Dan “dialektika menaik” digunakan untuk menjelaskan soal-soal akhlak dan jiwa dengan maksud untuk menentukan kebahagian manusia. (Ahmad Hanafy, 1991; 34).

Dalam penjelasannya tentang “wujud tertinggi” Plotinus sampai pada kesimpulan bahwa semua wujud, termasuk di dalamnya “Wujud Pertama” (Yang Esa atau Tuhan) merupakan rangkaian mata rantai yang kuat-erat yang terkenal dengan “Kesatuan Wujud” (wihdat al-wujud).

Maksud Plotinus dengan “Yang Esa” ialah bahwa “Ia” menempati tingkatan tertinggi dari semua tingkatan wujud yang juga dinamakan “Yang Pertama” atau “Wujud yang Tertinggi”. Ia Esa dari segala segi, dalam hakikat maupun dalam gambaran kita, tidak ada pluralitas dalam Zat-Nya. Karena Keesaan-Nya yang mutlak, maka ia tidak bisa dikatakan “akal” (pikiran) atau pun “ma’qul” (yang dipikirkan) karena sifat-sifat tersebut menimbulkan pluralitas. Ia bukan jauhar, bukan pula ardl (accident), sebab kedua sifat ini tidak lepas satu sama lain, yang berarti juga menimbulkan pluralitas.

Maka esensi yang dimaksud Plotinus “Yang Pertama” atau “Yang Esa” (shahib al-wahid) bukan pikiran dan tidak mempunyai kehendak (kemauan), bukan jauhar maupun aradl. Ia hanya dapat disifati dengan kebaikan semata, tetapi kebaikan-Nya itu adalah Zat-Nya sendiri, bukan suatu sifat yang berdiri pada-Nya, sehingga tidak menimbulkan sesuatu yang berbilang. (Muh. Yusuf Musa, 1966; 58-96). 

Al-Kindi yang dikenal sebagai seorang filosof Muslim dengan filsafat metafisikanya yang meliputi tiga hal yakni hakikat Tuhan, wujud Tuhan dan sifat-sifat Tuhan, telah menjelaskan konsep ketuhanannya melalui beberapa tulisan, di antaranya Fi al-Falsafah al-Ula (filsafat pertama), Risalah al-Hikmiyah fi Asrar al-Ruhaniyah (sebuah tulisan filosofis tentang rahasia spritual), dan Fi Wahdaniyat Allah wa Tanahiy Jirm al-Alam. Muliyadi Kartanegara, 2000; 28).

Sementara konsep ketuhanan al-Kindi, dianggap lebih sesuai dengan ajaran Islam dan bertentangan dengan pendapat Plato, Aristoteles dan Plotinus bahwa Tuhan adalah wujud yang sempurnah dan tidak didahului wujud yang lain (first cause). Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an dengan firman-Nya, هوالأول والأخر (Dia yang pertama dan Ia pula yang terahir). Wujud-Nya tidak berakhir, sedangkan wujud yang lain disebabkan wujud-Nya. Tuhan adalah yang “Maha Esa” yang tidak dapat dibagi-bagi dan tidak ada zat yang menyamai-Nya dalam segala aspek. Ia tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan.

Tuhan dalam filsafat al-Kindi, tidak mempunyai hakikat dalam arti ainiyah (juz’i) atau mahiyah (universal). Tidak ainiyah karena Tuhan tidak termasuk benda-benda yang ada dalam alam. Bahkan ia pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk. Tuhan juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah, karena Tuhan bukan merupakan jenis atau species. Tuhan hanya satu dan tidak ada yang serupa dengannya. (Hasyimsyah Nasution, 1999; 18).

Al-Farabi dalam pembahasan tentang ketuhanan mengkompromikan antara filsafat Aristoteles dengan Neo-Platonisme, yakni al-Maujud al-Awwal (Wujud Pertama) sebagai sebab pertama bagi segala yang ada. Dalam membuktikan adanya Allah. Al-Farabi mengemukakan dalil “Wajib al-Wujud” dan mumkin al-wujud. Menurutnya segala yang ada ini hanya dua kemungkianan dan tidak ada alternatif yang ketiga. (TJ. De Boar, 1954; 162).

Adapun yang dimaksud wajib al-wujud adalah wujud-Nya tidak boleh tidak, mesti ada, ada dengan sendirinya, karena naturnya yang menghendaki wujud-Nya. Esensi-Nya tidak dapat dipisahkan dari wujud. Wajib al-wujud inilah yang disebut Allah. Allah adalah wujud yang sempurnah, ada tanpa sesuatu sebab, karena kalau ada sebab bagin-Nya berarti ia tidak sempurnah, sebab tergantung padanya. Karena itu, Tuhan adalah Zat yang azali (tanpa permulaan) dan selalu ada. Zat-Nya itu sendiri sudah cukup menjadi sebab keabadian Wujud-Nya. Karena ketunggalan-Nya, maka batasan (defenisi) tentang Dia tidak dapat diberikan sama sekali, karena batasan berarti suatu penyusunan, sedangkan semua itu mustahil bagi Tuhan. (Imam al-Gazali, 1119 H; 133-143).

Majene, 3 juni 2020

#Penulis adalah Dosen STAIN Majene dan Alumni Salafiyah Parappe