SPIRITUALITAS MANUSIA MODERN: Menemukan Tuhan di Balik Filsafat dan al-Quran bag. 01

SHARE

Manusia pada hakikatnya memiliki fitrah ketuhanan dalam dirinya (Qs. Ar-Rum; 30 dan Qs. Al-A’raf; 172), yang bertujuan untuk mencari jalan hidup yang lebih bermakna dan bernilai melalui wahyu yang telah diturunkan oleh Allah. Selanjutnya dalam proses kehidupan, manusia memiliki hakikat tujuan hidup yaitu kembali kapada-Nya dengan kesucian jiwa. Maka untuk bisa kembali dan sampai pada suatu tujuan adalah dengan berbekal pengetahuan tentang hal yang akan dituju yaitu sang khalik (Tuhan). Olehnya itu, manusia butuh penjelasan tentang Tuhan dari dua jalan yakni pertama adalah pikiran yang disimbolkan dengan filsafat yang berbasis logika, dan kedua adalah wahyu yang disimbolkan dengan al-Qur’an. Dengan dua hal tersebut manusia berharap dapat kembali kepada tuhannya dengan tenang dan mendapat tempat yang tinggi serta mulia disisin-Nya.

Filsafat ketuhanan telah diperbincangan dalam sejarah perkembangan filsafat Yunani sejak fase Hellenisme-Romawi hingga zaman modern. Namun secara garis besarnya, filsafat ketuhanan memiliki obyek pembahasan atau berorientasi pada tiga hal pokok yakni Zat Tuhan itu sendiri, sifat-sifat-Nya dan hubungan-Nya dengan alam. Filsafat Yunani mula-mula dimaksudkan untuk melepaskan diri dari kekuasaan golongan-golongan agama dengan menguji ajaran-ajarannya. Karena itu dalam filsafat Yunani terdapat kepercayaan tentang adanya zat yang membekasi alam dan yang menjadi sumber segala peristiwa, meskipun dalam bentuk yang berbeda dengan apa yang ada dalam agama Yunani sendiri, karena zat yang berbilang dalam agama itu dinamakan “dewa-dewa”. Menurut filsafat Yunani bukan hanya sebab pertama (first cause) yang mempengaruhi alam, tetapi juga ada kekuatan-kekuatan lain yang ikut serta mempengaruhinya.

Filosof Yunani seperti Plato telah melahirkan teori ketuhanan yang populer dengan “Teori Ide” yang merupakan usaha perpaduan antara dua pemikiran yang berlawanan, yakni Heraclitus dengan Parmenides. Parmenides dengan aliran “Elea” yang mengatakan bahwa hanya satu wujud. Dan Aristoteles dengan “teori wujud” yang dibagi menjadi dua dengan menggunakan istilah form dan matter.        

Dalam perkembangan filsafat Islam tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh pemikiran filosof sebelumnya. Seperti munculnya buku filsafat Tahafut al-Falasifah oleh al-Ghazali, Tahafut al-Tahafut dan Manahij al-Adillah oleh Ibn Rusyd. Khusus dalam Tahafut al-Tahafut Ibn Rusyd mempertahankan konsep ketuhanannya dari serangan al-Gazali. Selain itu, muncul pula golongan-golangan teologi Islam dalam perdebatannya mencari Tuhan. Sebagaimana kita kenal seperti Asy’ariyah, Mu’tazilah, Batiniyah dan Hasyiwiyah. Masing-masing memiliki kepercayaan yang berbeda tentang Tuhan. Para filosof muslim berusaha menjelaskan konsep ketuhanan yang tidak terlalu jauh dari al-Qur’an.  

Umat Islam secara universal memiliki referensi mutlak tentang konsep ketuhanan yang tidak diragukan kevaliditasannya, yakni al-Qur’an. Sangat banyak ditemukan dalam al-Qur’an, ayat-ayat yang memberikan petunjuk dan pemahaman tentang hakikat Tuhan, hubungan Tuhan dengan alam dan sifat-sifat Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, tulisan ini mengkaji secara mendalam bahwa apakah konsep ketuhanan perspektif filsafat dengan konsep ketuhanan perspektif al-Qur’an, terdapat sisi perbedaan ataupun kesamaan dengan melakukan studi kolaborasi dan kompromi terhadap dua konsep tersebut.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa Tuhan berarti sesuatu yang diyakini, dipuja dan disembah oleh manusia sebagai yang Mahakuasa dan Mahaperkasa. Dan ketuhanan berarti sifat keadaan Tuhan, segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Ensiklopedi, Tuhan (Allah) diartikan sebagai sebuah nama keagungan dan kemulian, merupakan suatu nama hakikat atau keniscayaan yang bersifat Mutlak. Pada Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam di jelaskan bahwa Tuhan berarti nama dari suatu wujud tertinggi, terunik, zat Maha suci, Maha mulia, darinya sumber kehidupan dan kepada-Nya kehidupan kembali. (Cyril Glasse, 1999: 23).   

Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa Tuhan adalah merupakan suatu Zat yang “Maha Tinggi” yang tidak satupun orang menyamai bahkan segala sesuatu yang ada di dalam jagat raya ini, terlihat maupun tersembunyi (gaib) semuanya tergantung kepada-Nya.

Majene, 31 Mei 2020).

#Penulis adalah Dosen STAIN Majene dan Alumni Salafiyah Parappe