SPIRITUALITAS MANUSIA MODERN: Menemukan Tuhan di Balik Filsafat dan al-Quran 04

Tuhan dalam Persfektif al-Qur’an
Dalam Islam, Al-Qur’an diyakini sebagai wahyu yang qat’i al-wurud (sumber autentik/mutlak kebenarannya). Selain itu, al-Qur’an merupakan petunjuk bagi umat manusia dalam segala aspek kehidupan manusia (al-Baqrqah: 185), walaupun sebagian petunjuknya masih bersifat universal. Ketauhidan atau ketuhanaan tidak terlepas dari pembahasan al-Qur’an bahkan telah ditemukan banyak ayat yang membicarakan tentang ketuhanan.
Allah sebagai mutakallim terhadap wahyu-Nya (al-Qur’an), telah berbicara banyak tentang dirinya sendiri melalui al-Qur’an, maka tidak salah jika dikatakan bahwa yang paling tahu tentang Allah adalah dirinya sendiri melalui informasi yang dibawa oleh al-Qur’an tentang bagaimana Keesan-Nya, (ahad), Keperkasaan-Nya, (‘aziz), dan bagaimana keagungan-Nya (‘azdim) dan sterusnya.
Oleh karena itu, mari kita menyimak dengan seksama salah satu hadis yang dinilai sebagian pakar sebagai hadis qudsi yang menggambarkan tentang Tuhan, “Pada awalnya Aku adalah sesuatu (perbendaharaan) yang tersembunyi. Lalu Aku berkehendak untuk dikenal, maka kuciptakan makhluk agar mereka mengenal Aku”. (M. Quraish, Wawasan al-Qur’an; 24).
Jika hadis qudsi ini disimak dengan baik, kemudian kita kembali melihat argumentasi para filosof dalam menjelaskan konsep ketuhanannya, maka tidak salah ketika Aristoteles mengatakan bahwa Tuhan adalah “Akal Pertama” atau “Penggerak Pertama” yang selalu berpikir dan pemikirannya ditujukan pada Zat-Nya sendiri. Dari pemikirannya itulah melahirkan sesuatu selain Tuhan (alam). Karena penjelasan Aristoteles tentang hal tersebut masih dianggap rancu, maka tampillah Plotinus dengan “teori pancaran” dengan mengatakan bahwa alam ini tercipta karena pancaran dari “Yang Esa” dengan prinsip melimpah. Hal ini kemudian di Islamkan oleh Ibn Sina dan begitu pula al-Farabi dengan “teori emanasinya” dengan alasan bahwa tidak ditemukan dari al-Qur’an informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau dari sesuatu yang tiada.
Adapun konsep ketuhanan dalam al-Qur’an, adalah sebuah upaya untuk menjelaskan kepada manusia melalui ayat-ayatnya tentang pembuktian wujud dan Keesaan Tuhan serta sifat-sifat-Nya. al-Qur’an melalui ayat-ayatnya sebagai wahyu, merupakan petunjuk bagi manusia tentang hakikat Tuhan. Oleh karena itu, fitrah ketuhanan yang dimiliki oleh setiap insan yang di bawa sejak lahir, memiliki kemampuan yang sangat tajam dan lebih meyakinkan daripada pandangan mata. Bahkan mata sering menipu kita. Misalnya kayu yang lurus terlihat bengkok di dalam air, bintang besar terlihat kecil dari kejauhan, benda yang bersegi empat terlihat bundar dari kejahuan dan sebagainya.
Dalam hal ini, dikenal apa yang dimaksud dengan pembuktian ontologi, kosmologi, dan teleologi yakni; Bukti ontologi yakni menggambarkan bahwa kita mempunyai ide tentang Tuhan dan tidak dapat membayangkan adanya sesuatu yang lebih berkuasa dari-Nya. Bukti kosmologi yakni berdasar pada ide “sebab dan akibat” (teori Kausalitas) yaitu tidak mungkin terjadi sesuatu tanpa ada penyebabnya, dan penyebab terakhir adalah Tuhan. Bukti teleologi yakni berdasar pada keseragaman dan keserasian serta keseimbangan alam, yang tidak dapat terjadi tanpa ada satu kekuatan yang mengatur keserasian itu. Menurut filosof Muslim seperti Ibn Rusdy bahwa itu semua tidak terjadi secara kebetulan tetapi menunjukkan adanya penciptaan yang rapi dan teratur, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, tumbuh-tumbuhan dan hujan dan segala aspek dalam kehidupan manusia yang sarat dengan kesesuaian dan keseimbangan.
Tiga bentuk pembuktian di atas, dikemukakan oleh al-Qur’an dengan berbagai cara, baik tersurat maupun tersirat. Keesaan Zat mengandung pengertian bahwa seseorang harus percaya bahwa Allah tidak terdiri dari unsur-unsur atau bagian-bagian, walau sekecil apapun. Hal ini mengantar kita kepada salah satu surah dalam al-Qur’an yang secara gamblang mengungkap tentang ketuhanan: “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia." Ayat yang lain; “Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan dia yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. Qs. al-Baqarah: 163.
Ditemukan juga salah satu ayat yang cukup jelas menjelaskan Keesaan Tuhan dan kewajiban Wujud-Nya. “Dialah yang Awal dan yang Akhir yang Zhahir dan yang Bathin, dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”. Ayat lain “Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji”. (Qs. Fathir: 15)
Tuhan pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk. Juga Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiyah, karena Tuhan bukan merupakan jenis atau species. (Harun Nasutin, 1999; 16). Tuhan hanya satu dan tidak ada yang serupa dengannya. ”(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat. (Qs. Al-Syura: 11).
Pada ayat ini, telah digambarkan bahwa Allah tidak dapat dijangkau oleh makhluknya dari segi penglihatan sebagaimana makhluk-Nya yang dapat dilihat. Hal ini karena Kemaha gaiban-Nya. Akan tetapi, disamping itu, Dia maha mengetahui yang zahir sebagaimana mengatahui yang gaib. Qs. Al-An’am (6): 10. “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.
Dengan demikian, segala yang mengandung keragaman dan bilangan (pluralitas) lebih dari satu dan memiliki wujud secara zahir adalah substansi dari setiap makhluk, bukan substansi sang Khalik yang berbeda dari segala sesuatu yang ada atau baharu. Itulah sebagian makana Keesaan Zat Tuhan. (Majene, 9 Juni 2020).
#Penulis adalah Dosen STAIN Majene dan Alumni Salafiyah Parappe