SPIRITUALITAS MANUSIA MODERN: Kesalehan Ritual vs Kesalehan Sosial 02

Aktualisasi Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial
Dalam membahas persoalan kesalehan ritual dan kesalehan sosial, penulis mengutip pandangan dalam artikel yang ditulis oleh Dr. Helmiati, namun perlu diketahui bahwa yang mempopulerkan istilah kesalehan ritual dan kesalehan sosial adalah KH. Mustafa Bisri melalui bukunya yang berjudul “Saleh Ritual, Saleh Sosial”. Helimiati berpandangan bahwa disebut kesalehan ritual karena lebih menekankan dan mementingkan pelaksanaan ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir. Kesalehan ritual ini, juga disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bermasyarakat yakni hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minannas yang baik.
Sedangkan “kesalehan sosial” memberi penekanan pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat konsen terhadap masalah-masalah umat, memperhatikan dan menghargai hak sesama, mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya. Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa di kalangan umat Muslim, masih ditemukan persepsi yang memperhadapkan atau mendikotomis antara kesalehan individual dan kesalehan social, sehingga terkesan bahwa dalam Islam memang ada dua macam kesalehan yakni kesalehan “ritual (individual)” dan “kesalehan sosial”. Padahal secara prinsip kedua kesalehan ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, bagaikan pohon dengan tanah yaitu pohon tidak bisa tumbuh tanpa tanah dan tanah tidak memberi manfaat jika tidak ditanami. Namun dalam realitas parakteknya tidak bisa disangkal bahwa kita masih melihat adanya kontradiksi antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Banyak orang yang saleh secara individual, namun tidak atau kurang saleh secara sosial.
Secara universal, umat Islam sangat memahami bahwa ajaran Islam telah mengajarkan dua hal yang menjadi prinsip dalam menjalani kehidupan yakini membangun hubungan vertikal dan hubungan horizontal (hablun minallah wa hablumminannas). Hubungan vertikal diwujudkan dalam bentuk hubungan dengan Allah dan hubungan horizontal diwujudkan dalam bentuk hubungan yang dengan sesama manusia. Dari dua hubungan inilah kemudian melahirkan gagasan yang popular dengan istilah kesalehan ritual dan kesalehan sosial sebagaimana kita bahas pada kesempatan ini.
Jika demikian, maka kriteria kesalehan seseorang tidak bisa hanya diukur dari ibadah ritualnya saja seperti shalat dan puasanya, tetapi juga dilihat dari sosialnya atau nilai-nilai dan perilaku sosialnya, seperti kepekaan dan kepedulian sosial berupa kasih sayang pada sesama, sikap demokratis, menghargai hak orang lain, penuh kesantunan, dan harmonis dengan orang lain, yang substansinya adalah memberi manfaat secara luas kepada orang lain.
Sebuah hadis Nabi menjelaskan dan menggambarkan tentang pentingnya kesalehan sosial mengikuti kesalehan ritual, karena tanpa itu, maka kesalehan ritual menjadi sia-sia. Hal tersebut terlihat ketika Nabi Muhammad Saw. mendengar berita tentang seorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya menyakiti tetangganya. Apa komentar Nabi tentang dia, singkat saja, “Ia di neraka.” Kata Nabi. (hadis riwayat an-Nasa’i, Ibn Majah dan al-Turmuzi). Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.
Hadis tersebut begitu jelas menggambarkan tentang kesalehan yang tidak hanya diukur dari kesungguhannya dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini hanya bersifat individual dan sebatas hubungan dengan Allah (hablum minallah), akan tetapi kesalehan juga dilihat dari cara berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat (hablum minannas). Dengan demikian, kesalehan tergantung pada dua hal yakni hubungannya dengan sesama manusia baik, dan hubungannya kepada Allah baik melalui ibadah ritual yang istiqamah.
Uraian di atas memberi gambaran secara gamblang bahwa Islam bukanlah agama yang hanya berorientasi pada individual, akan tetapi Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah agama rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Agama yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan pengabdian diri pada Allah semata tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam. Karena itu, dalam al-Qur’an kita menemukan fungsi manusia itu bersifat ganda, bukan hanya sebagai abdi Allah tetapi juga sebagai khalifatullah yang berarti memegang amanah untuk memelihara, memanfaatkan, melestarikan dan memakmurkan alam semesta.
Dengan demikian, seyogyanya kesalehan individual termanipestasi dalam kesalehan sosial, sehingga seluruh rangkaian ibadah yang dilaksanakan dengan baik, terwujud dalam perilaku social. Dari dua kesalehan inilah kemudian menjadi kesalehan seseorang secarah utuh dan paripurna yang selanjutnya melahirkan perilaku baik dan memberi manfaat bagi orang lain. (Majene, 24 Juni 2020).
Bersambung....
#Penulis adalah Dosen STAIN Majene dan Alumni Salafiyah Parappe