SPIRITUALITAS MANUSIA MODERN: Kesalehan Sosial sebagai Indokator Keberimanan

Adakah korelasi antara keimanan dengan kesalehan sosial? Pertanyaan inilah yang akan kita jawab pada tulisan ini, dimana kita sering menemukan teks-teks agama yang menyandingkan antara kata iman dengan kesalehan sosial yang dianggap sebagai wujud dari keberimanan seseorang.
Teks-teks agama yang dimaksud seperti pada beberapa redaksi hadis Rasulullah saw. yang memberi penegasan bahwa ketika seseorang betul-betul merasa dan mengaku beriman kepada Allah swt. maka ia harus membuktikannya dan memperlihatkannya dalam wujud kesalehan sosial. Hal ini dapat kita lihat pada beberapa redaksi hadis berikut sebagai gambaran nyata adanya korelasi antara iman dan kesalehan sosial.
Hadis pertama, dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam, siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia menghormati tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya. (Imam al-Bukhari dan Imam Muslim). Pesan moral yang terkandung pada hadis tersebut adalah bagaimana berbicara secara santun dan saling menghargai.
Hadis kedua, dalam sebuah hadits Qudsi juga disebutkan bahwa “Demi Allah, Demi Allah, tidaklah beriman seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan buruknya yakni kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan” (Bukhari-Muslim). Pesan moral pada hadis tersebut adalah bagaimana menjaga perilaku dan tindakan kepada orang lain.
Hadis ketiga, dari ‘Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Nabi Saw. telah bersabda: “orang muslim yang sebenarnya adalah orang yang mampu menjaga lisannya dan tangannya dari menyakiti orang lain dan orang yang hijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang Allah swt. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Nasa’i). Pesan moral hadis tersebut adalah bagaimana menjaga perilaku dan tetap menjaga perbuatan maksiat kepada Allah.
Hadis keempat, dari Abi Burdah ibn ‘Abdillah ibn Abi Burdah dari kakeknya dari Abi Musa dari Nabi saw. telah bersabda: “sesungguhnya antara seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling melengkapi (memperkokoh) satu sama lain.” (H.R. Bukhari dan Muslim). Pesan moral pada hadis tersebut adalah membangun solidaritas.
Hadis kelima, dari Syu’bah dari Qatadah dari Anas r.a berkata bahwa Nabi saw. telah bersabda “tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa’i). Pesan moral hadis tersebut adalah membangun kasih sayang dan kepekaan sosial.
Dari hadis-hadis tersebut, menunjukkan secara fundamental bahwa keimanan dalam Islam harus memberikan implikasi atau perwujudan pada kehidupan interaksi sosial, bahkan Islam memandang mereka yang tidak memiliki komitmen dan kepekaan sosial sebagai pembohongan agama, lihat Qs. Al-Ma’un: 1-3, “tahukah kamu orang yang mendustakaan agama? Itulah orang-orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin”. Inilah salah satu hakikat makna iman, yaitu memberikan arti terhadap makna sosialnya. Dengan kata lain, iman akan kehilangan arti pentingnya, jika tidak memiliki implikasi dalam kehidupan praktis sosial, dimana ada iman di situ ada amal saleh.
Oleh karena itu, pelanggaran terhadap kesalehan sosial, lebih berbahaya dan berdampak negatif dari pada pelanggaran kesalehan ritual (individual). Selain itu, pengampunan dosa pelanggaran sosial juga lebih rumit. Contoh sederhana, orang yang melanggar lampu merah, bukan saja melanggar hukum lalu lintas, tetapi ia tidak saleh secara sosial, karena pelanggaran tersebut bisa berbahaya terhadap dirinya dan merugikan orang lain, dan jika terjadi kecelakaan, maka disana ada banyak kerugian yakni rugi waktu, ekonomi, dan bisa menyebabkan cacat bahkan kematian bagi pelaku maupun korban. Jika itu terjadi, maka dipastikan bahwa pelaku berdosa dan dosanya tidak akan diampuni oleh Allah swt. sebelum sikorban memaafkannya.
Sedangkan jika melanggar kesalehan ritual, misalnya tidak melaksanakan shalat, maka secara zahir tidak membahayakan orang lain dan hanya dirinya yang berdosa kepada Allah swt. dan solusinya juga mudah yakni hanya bertobat kepada Allah, maka yakinlah bahwa Allah swt. pasti akan menerima tobatnya karena Allah swt. maha pengampun. Qs. Al-Maidah: 39. “Maka barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dengan demikian, kesalehan sosial dalam Islam sesuangguhnya lebih merupakan aktualisasi atau perwujudan iman dalam kehidupan sosial atau pemahaman sederhananya adalah bahwa sesungguhnya indikator keberimanan, ada pada kesalehan sosial. (Majene, 1 Juli 2020).
Penulis adalah Dosen STAIN Majene dan Alumni Salafiyah Parappe