SPIRITUALITAS MANUSIA MODER: Menilik Pemberian Gelar To Salama di Mandar

SHARE

Mengawali tulisan ini, saya mengajukan satu pertanyaan, “masih adakah di Mandar yang bisa diberi gelar “to salama”? pertanyaan ini akan terjawab setelah mengetahui siapa sesungguhnya “to salama” itu.

Dalam tradisi dan realitas sosial-keagamaan orang-orang Mandar, dikenal satu status sosial-keagamaan yang sanggat tinggi yakni “to salama” atau dikenal dengan istilah wali. Jika kita membaca literatur-literatur yang menyinggung tentang masuknya Islam dan penyebarannya di Mandar, maka pasti ditemukan istilah “to salama” sebagai gelar bagi orang-orang yang telah berjasa dalam menanamkan akidah dan membangun akhlak umat melalui dakwah Islamiah atau penyebaran Islam di tanah Mandar ini.

Gelar “to salama” yang diberikan oleh masyarakat berimplikasi kepada pensakralan. Itulah mengapa kuburan “to salama” senantiasa ramai diziarahi oleh masyarakat. Di tanah Mandar ini, dikenal beberapa kuburan “to salama”, seperti kuburan “to salama” di Binuang (Syekh Abdurrahim Kamaluddin), kuburan “to salama” di bulo-bulo, kuburan “to salama” di Samasundu, kuburan “to salama” di Lembanan, kuburan “to salama” di Salabose, kuburan “to salama” Titie, kuburan “to salama” di Passa’bu, kuburan “to salama” di garombang, kuburan “to salama” di Lapeo (Imam Lapeo).  

Pemberian gelar “to salama” yang kemudian berimplikasi pada pensakralan atau dikramatkan, sesungguhnya itu bukanlah ide yang muncul dari masyarakat kemudian disepakati untuk disakralkan, dan bukan juga karena memiliki status dan strata sosial seperti jabatan, pangkat dan materi, karena walaupun seseorang itu adalah pejabat, kaya dan terhormat, dan dari keturunan bangsawan, belum tentu orang tersebut disakralkan. Ataukah pensakralan terhadap “to salama” bukanlah rekayasa budaya dari masyarakat setempat, tetapi murni lahir secara alami dari masyarakat, karena jasa-jasanya dalam melakukan dakwah islamiah, dan menyebarkan agama Islam di berbagai daerah, khususnya di Sulawesi Barat. Hal inilah yang kemudian berimplikasi kepada pemberian gelar “to salama” (wali Allah).

Dengan demikian, pemberian gelar “to salama” pada seseorang dalam keyakinan masyarakat Mandar, ternyata harus memenuhi beberapa kriteria, walaupun kriteria itu belum disepakati secara formal. Dalam hasil penelitian Mukhlis Latif, dijelaskan secara gamblang tentang kriteria pemberian gelar “to salama” yang merupakan kutipan dari wawancara salah seorang tokoh agama, sekaligus pengelolah salah satu kuburan “to salama” di Mandar, mengungkapkan dalam bahsa Mandar, setidaknya ada tujuh kriteria pemberian gelar “to salama” sebagai berikut, Na disanga “to salama”, karana diang sifa’-sifa’ malaqbina:

  1. Magassing makkamal (tokayyang ibadana), andiang rua mappelei sambayang berejamah di masigi.
  2. Tomagassing madzzikkir, mappunnai pappogauang amalan mannassa, khususnya ma’idi marrappe-rappe sanganna puang Alla Taala.
  3. Malabo sanna.
  4. Tau mesa pau mappogau parentah agama anna magassing pittaeanna. Mua’ yakinmi disesena mauang ia rio pappogauanna sicocok agama anna macoa lao tau laeng. Anna innai mappisangkai, ia mappaparua.
  5. Tomapaccing sanna atena anna tau sa’bar. Ia pattolong tau innai mapparalluang, mauri tania tosallang. Andiang rua macai lao tau laeng mauri rio tau mappogau asalangan dialawena.
  6. Mappunnai paissangan agama kayyang (panrita). Di lalang bahasa Mandar disanga to panrita.
  7. Mappunnai paissangang kayyang.(tasawuf) (Mukhlis Latif, Sakralitas Imam Lapeo, 199-209).

Dalam terjemahan bahasa Indonesianya, kurang lebih sebagai berikut, di sebut “to salama” (orang selamat/wali), karena memiliki sifat-sifat yang sangat mulia. Pertama, kuat beribadah (ahli ibadah), ia tidak pernah meninggalkan salat berjamaah di Masjid. Kedua, ahli zikir, ia memiliki amalan tertentu, khususnya banyak menyebut asma Allah atau berzikir. Ketiga, sangat dermawan. Keempat, orang yang sangat istiqamah menjalankan perintah agama dan kuat pendirian. Ketika sudah yakin bahwa apa yang ia lakukan sesuai agama dan berdampak positif terhadap masyarakat, maka siapapun yang menghalangi, pasti dia hadapi. Kelima, seorang yang sangat ikhlas dan rendah hati (tawadhu). Ia membantu siapa saja yang membutuhkan, walaupun itu non-muslim. Tidak pernah marah sama orang lain walaupun orang tersebut telah nyata-nyata melakukan kesalahan pada dirinya. Keenam, seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang luas (ulama). Dalam bahasa Mandar disebut “to manarang atau panrita”. Ketujuh, memiliki kemampuan supra natural (kekuatan spiritual atau ilmu pirasat yang sangat kuat).

Berdasarkan ketujuh poin tersebut, maka tergambar bahwa kriteria seseorang yang diyakini oleh orang-orang Mandar untuk dapat menyandang gelar “to salama” sebagai status tertinggi dalam tradisi sosial-keagamaan adalah memiliki tujuh kriteria yang telah disebutkan. Dengan kata lain, bahwa gelar “to salama”, lahir dari kualitas pribadi seseorang secara nyata dan disaksikan oleh orang banyak, apakah berupa kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan integritasnya terhadap masyarakat dan memiliki karamah. Olehnya itu, jika seseorang memenuhi tujuh kriteria tersebut, maka ia berhak mendapat dan menyandang gelar “to salama”. Penjelasan ini sebagai jawaban atas pertanyaan di awal tulisan. (Majene, 10 Juli 2020).

Penulis adalah Dosen STAIN Majene dan Alumni Salafiyah Parappe