NAMA SUAMI DIBELAKANG NAMA ISTERI, HARAM???

Pertanyaan dari bapak Fatih el mubaarok di Rubrik Konsultasi Fikhi & Syaria’ah salafiyahparappe.com
“Assalaamu 'alaikum wr wb.. mohon pencerahannya.. kira2 gmn hukum seorg wanita yg memakai nama suami (dibelakang namanya) ?? Krn ada keluarga yg sering ikut kajian xxxxx mengharamkan krn kata nya ada hadits dr rosulullaah tentang hal itu.. sekali lagi mohon penjelasannya.. jazaakumullaah khaer”
Jawaban dari Tim Redaksi salafiyah parappe.com
Terima kasih atas pertanyaan Bapak Fatih el mubaarok. Semoga Allah Swt merahmati kita semua. Amin
Penambahan nama suami di belakang nama isteri adalah sesuatu yang biasa kita dengar di Indonesia, khususnya pada tingkat pejabat negara. Penambahan nama tersebut yang meskipun tak bisa dibuktikan dengan dokumen resmi dari negara seperti Kartu Keluarga (KK) atau KTP, sejatinya tak bisa dilepaskan dari posisi perempuan yang menjadi isteri dari seorang pejabat. Tujuan penambahan yang kami ketahui dilakukan agar mudah diketahui bahwa dia adalah isteri dari pejabat tertentu, terlebih jika dikaitkan dengan lembaga perhimpunan mereka, yaitu Dharma Wanita Persatuan atau PKK.
Seperti yang bapak Fatih el mubaarok kemukakan, bahwa memang ada beberapa ayat dan hadis yang melarang siapapun menisbatkan seorang perempuan kepada selain bapaknya. Semisal :
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Terjemahnya:
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S Al-Ahzab ; 33: 5)
Al-Qurthubiy menyebutkan bahwa ayat tersebut turun terkait dengan Zaid bin Haritsah yang saat itu sering dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad yang menunjukkan bahwa Muhammad adalah bapaknya sebagaimana riwayat dari Abdullah bin Umar yang mengatakan bahwa kami dahulu tidak pernah memanggil Zaid bin Haritsah akan tetapi kami memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad hingga turun ayat yang melarangnya. Oleh karena itu, al-Zuhailiy ketika menafsirkan ayat tersebut mengatakan bahwa seorang anak angkat harus dinisbatkan kepada bapak mereka yang sebenarnya, bukan pada bapak angkatnya.
Namun al-Alusi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa maksud dari ayat tersebut adalah keharaman penisbatan seseorang kepada bukan bapaknya. Keharaman itu bisa jadi disebabkan tradisi masyarakat Jahiliyah yang menisbatkan anak angkat kepada bapak angkatnya dengan menggunakan kata ibn/bint atau yang disebut dengan istilah tabanni (menyebutkan bin pada namanya). Adapun kalau bertujuan hanya sekedar ta’arruf (pengenalan) atau panggilan ramah, sapaan, dan bukan bertujuan menyamarkan nasab seperti wahai anakku pada anak-anak kecil, maka secara lahiriah hukumnya tidak haram. Ayat tersebut semakin jelas arahnya ketika dikaitkan dengan QS al-Ahzab/33:40:
مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Terjemahnya:
Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Kedua ayat tersebut didukung oleh hadis-hadis Nabi saw. yang melarang seseorang menisbatkan namanya pada bukan bapaknya, sebagaimana riwayat al-Bukhari dan Muslim:
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ
Terjemahnya:
Tidaklah seseorang menyandarkan nasab kepada selain ayahnya padahal dia tahu (itu bukan bapaknya) kecuali dia kafir.
Dengan demikian, larangan penisbatan nama tidak bisa dilepaskan dari apa yang dilakukan oleh orang Arab Jahiliyah yang masih berlangsung hingga awal-awal Islam bahwa penisbatan itu tidak lepas dari penggunaan kata bin sebagaimana sabab al-nuzul kedua ayat di atas.
Dalil-dalil di atas tidak bisa dilepaskan dari masalah Tabanni (yaitu kesengajaan seseorang menisbatkan seorang anak kepada dirinya layaknya penisbatan anak kepada bapaknya), sehingga bisa berdampak pada warisan, perwalian dan kamahraman.
Praktek yang ada di masyarakat Indonesia, khususnya isteri pejabat cenderung tidak termasuk penisbatan nasab pada orang lain karena namanya tidak mencantumkan kata BIN sebelum nama suami, tetapi modelnya lebih cenderung kepada tujuan Ta’arruf (pengenalan) dan Takarrum (penghormatan). Hampir sama dengan seseorang yang menisbatkan dirinya pada kampung kelahirannya, seperti Imam al-Bukhari (lahir di Bukhara) dan lain-lain.
Wallahu A’lam
Maraji’ dan Referensi:
1. Al-Qurthubiy, Tafsir Ahkam al-Qur’an.
2. Al-Zuhailiy, Tafsir al-Munir wa al-Aqidah wa al-Manhaj.
3. Al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh.
4. Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim
5. Fatwa al-Lajnaj al-Daimah.