MEMBUDAYAKAN KARAKTER SANTRI UNTUK INDONESIA LEBIH BERAKHLAK

SHARE

Tulisan ini penulis awali dengan beberapa pengkategorian 1. pengertian budaya, 2. Permasalahan Indonesia dan 3. Karakter santri, dikarenakan agar pengkajian mengenai “Membudayakan Karakter Santri Untuk Indonesia Lebih Berakhlak” lebih terstruktur.

Pengertian Budaya

Berbicara mengenai masalah budaya penulis pengambil pendefenisian Koentjaraningrat yang mengatakan bahwa budaya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan serta hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar.

Pengertian budaya menurut Koentjaraningrat ini memberi pemahaman kepada kita bahwa sejatinya terciptanya suatu tatanan kebudayaan merupakan hasil dari pembelajaran dalam sebuah sistem gagasan, gagasan itu muncul diakibatkan ada pola pikir yang baik dan pola pikir yang baik hampir seluruhnya dimiliki oleh kaum sarungan alias santri yang baik pula.

Sepintas Permasalahan Indonesia

Dewasa ini, ketika kita memperhatikan manusia-manusia Indonesia hampir seluruhnya mengedepankan akhlak yang buruk dalam berkomunikasi/berinteraksi, baik dari kalangan awam maupun dari kalangan berpendidikan, bahkan anehnya ada dari kalangan manusia yang ibadahnya kepada Allah jalan akan tetapi caciannya terhadap manusia atau suatu kelompok juga jalan.

Adanya ujaran kebencian yang muncul di ruang publik dewasa ini sangat tidak pantas dan sangat tidak berakhlak, olehnya itu efek dari kurang berakhlaknya manusia-manusia Indonesia ialah sangat mudah untuk dibenturkan dan di pecah belah dalam hal apapun, terutama terhadap isu keagamaan dan kesukuan. Dalam beberapa kejadiian kemudian menjadi konflik yang sangat rumit yang penyelesaiannya cenderung berlarut-berlarut karena adanya ego dari suatu kelompok kepentingan, yang mendapatkan keuntungan dari adanya konflik.

Sementara itu, arus informasi dalam pemberitaan media, kerap kali di tuding menjadi suatu pemicu semakin meluasnya suatu konflik, terutama dari pemberitaan media yang terlalu provokatif dalam menempatkan judul beritanya seakan mengajak para pembacanya terlibat lebih jauh.

Padahal, bangsa Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk atau bhinneka tunggal ika, dimana masyarakat-masyarakat dan suku bangsa dipersatukan dan diatur oleh sistem nasional yaitu konsep kebangsaan. Setiap ras dan suku harus diakui sebagai bagian dalam budaya Indonesia yang merupakan kekuatan sosial.

Masyarakat kurang mendapat bimbingan dalam keterbukaan mencari solusi bersama dan lemah menganalisa provokasi pihak luar ataupun kepentingan-kepentingan tertentu, karena lemahnya tingkat pendidikan akhlaki dan kesejahteraan masyarakat.

Melihat fenomena manusia-manusia Indonesia dewasa ini, yang mana prilakunya tidak lagi mencerminkan esensi manusia, maka  penulis memberikan sebuah solusi ialah pentingnya membudayakan karakter santri.

Karakter apa yang dimiliki seorang santri sehingga mampu membendungi keterpurukan akhlak manusia-manusia Indonesi?. Pertanyaan ini menarik untuk dikaji, sebab berbicara persoalan karakter santri sama halnya kita berbicara persoalan tingkah laku santri atau esensi sebuah santri dan tingkah laku santri yang akhlaki merupakan manifestasi tuhan di alam ini.

Defenisi dan sejarah Santri

Menurut penulis santri terbagi atas dua kategori yakni secara universal (umum) dan partikulir (khusu). Adapun santri secara partikulir ialah seseorang yang tinggal di Pondok Pesantren yang kesehariannya mengkaji kitab salaf atau kitab kuning, dengan tubuh dibalut sarung, peci, serta pakaian ala santri menjadi pelengkap dan menambah ciri khas tersendiri bagi mereka. Sedangkan santri dari segi keuniversalannya ialah seseorang yang tidak tinggal di pondok pesantren akan tetapi mengamalkan prilaku atau etika santri dalam berinteraksi dengan siapapun. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Gus Mus ditausyahnya pada saat kirap hari santri 22 Oktober 2015 ialah, “bahwa yang disebut santri bukan yang mondok saja tetapi siapapun yang ber-akhlak santri, yang tawaddu' kepada Gusti Allah, Tawaddu' kepada orang alim, kalian namanya santri dan santri melihat tanah air Indonesia ini sebagai rumah, kalau  santri berbicara kebangsaan bukan karena nasionalisme, karena santri tidak tau isme-isme akan tetapi karena keterlibatan dan kepemilikannya terhadap bangsa ini”.

Cak Nur (Nur Khalis Majid) menglasifikasikan defenisi santri atas dua kategori. Yang pertama, “santri” berasal dari bahasa Sankskerta, yaitu “sastri”, yang berarti orang yang melek huruf. Yang kedua, berasal dari bahasa Jawa, yaitu “cantrik”, yang berarti seseorang yang mengikuti kyai di mana pun ia pergi dan menetap untuk menguasai suatu keahlian tersendiri.

DR. KH. M.A. Sahal Mahfudz ketika mendefenisikan santri mengatakan bahwa kata “santri” berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata “santaro”, yang mempunyai jama’ (plural) sanaatiir (beberapa santri). Di balik kata “santri” tersebut yang mempunyai empat huruf Arab (sin, nun, ta', ra').

Santri menurut Cak Nur diatas memberi pemahaman bahwa pada prinsipnya Anak-anak santri tekun menuntut ilmu. Mereka dikenal taat menjalani perintah agama dan kiai.

Sejarah membuktikan santri adalah orang-orang yang berada di garis terdepan dalam memerdekakan bangsa ini. Santri erat kaitannya dengan pesantren, terbukti dari beberapa rentetan sejarah menguak bahwa Pesantren adalah sebuah pemondokan atau tempat tinggal bagi para santri.

Zaman Nabi saw sebenarnya sudah ada kumpulan santri atau para pencari ilmu yang tinggal di Masjid Nabawi. Meraka yang datang dari dalam maupun luar kota Madinah, bahkan ada sebahagian sahabat yang menempuh beberapa minggu atau bahkan bulan perjalanan demi mendengar ilmu baru yang datang dari Nabi yakni konsep keislman. Abu Hurirah merupakan salah satu santri di Masjid Nabawi yang dibimbing lansung oleh Rasulullah saw.

Adapaun tradisi pesantren yang ada di Nusantara menurut para ahli sejarah ialah dimulai daru Sunan Ampel Sunan Ampel mendirikan pemondokan berupa kamar-kamar bagi para santri. Dan Sunan Giri merupakan salah satau murid dari Sunan Ampel.

Seiring berkembangnya zaman apalagi di era milenial ini, keberadaan pesantren dianggap sesuatu yang kolot alias ketinggalan zaman dan semakin ditinggalkan. Padahal dari pesantren-lah muncul generasi-generasi muda Islam sebagai calon-calon ulama dan penyebar syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat, belum lagi santri atau pesantren merupakan basis dari sebuah peradaban, dalam hal ini sejarah mencatat bahwa K.H. Hasyim Asy’ari memimpin untuk melakukan reaolusi jihad ditahun 1945 untuk melawan penjajah bersama dengan santri-santrinya dalam memperjuangkan kemrdekaan Republik Indonesia.

Bagi santri NKRI sudah pasti harga mati, santri merupakan garda terdepan bangsa jadi banggalah menjadi santri di pondok pesantren karena santri memiliki banyak kelebihan tutupnya.

Menurut penulis, ada pergeseran pandangan masyarakat di era milenial ini, hampir seluruh masyarakat berpandangan bahwa mencari ilmu bisa didapat dari kitab-kitab terjemah ataupun lewat media internet. Pandangan mereka diperparah dengan ambisi dunia atau penguatan ekonomi dibanding mencari ilmu di Pesantren.

Akibat dari pergeseran pandangan masyarakat tentang pesantren itulah yang menjadikan timbulnya bermacam-macam kasus di kalangan manusia-manusia Indonesia.

Ada uangkapan yang mutawatir dikalangan masyarakat atau manusia-manusia Indonesia yang mengatakan “Kalau anak saya mondok, nantinya mau kerja dimana, apakah dia mampu mencukupi kebutuhan keluarganya kalau dia sudah berkeluarga” uangakapn ini menurut penulis adalah salah besar dan perlu diluruskan. Karena, sejatinya pesantren bukan tempat mendidik mencari kerja atau memudahkan mendapat pekerjaan. Pesantren adalah ladang atau tempat mendidik kemandirian dalam hidup dan tempat mencetak generasi Islam yang berilmu dan berakhlak mulia.

Rasulullah saw bersabda,

???? ??????? ?????????? ?????????? ???????????? ?????? ??????? ????????? ?????????? ???????????? ?????? ???????????? ?????????? ??????????

Artinya:

“Barangsiapa yang menginginkan kebahagian dunia hendaklah dengan ilmu, barangsiapa yang menginginkan kebahagiaan akhirat hendaklah dengan ilmu dan barangsiapa menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat hendaklah dengan ilmu”.

Jadi, jelaslah kepada kita bahwa pesantren merupakan sarana dalam meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.

Karakter Santri

Adapaun karakter santri selain dari penerapan tindakan yang akhlaki juga tergambar dari kata “santri” itu sendiri seperti pendefenisian santri yang di ungkapkan oleh DR. KH. M.A. Sahal Mahfudz diatas yakni “santri” dari kata sin, nun, ta’ dan ra’.

“santri” dari kata sin ialah: satru al-‘aurah, layaknya kaum santri yang mempunyai ciri khas dengan sarung, peci, pakaian koko, dan sandal ala kadarnya sudah barang tentu bisa masuk dalam golongan huruf sin ini, yaitu menutup aurat. Akan tetapi yang harus diperhatikan dari esensi menutup aurat di sini ialah mempunyai dua kategori pengertian yaitu menutup aurat secara dhahiri (tampak oleh mata) dan bathini (yang tersirat atau tidak tampak).

Adapun aurat secara dhahiri ialah sesuai dengan syari'at Islam. Mulai dari pusar sampai lutut bagi pria dan seluruh tubuh kecuali tangan dan wajah bagi wanita. Gambaran tersebut merupakan gambaran yang sudah tersurat dalam aturan-aturan yang sudah jelas dalam syari'at. Sedangkan aurat secara bathini ialah lebih kepada bentuk rasa malu. Hal yang terpenting di sini adalah bagaimana manusia menutupi dan mempunyai rasa malu dalam hal sifat dan perilaku secara dhahiri dan bathini.

“santri” dari kata nun ialah: "na'ibul ulama" (wakil dari ulama). seorang santri di tuntut mampu aktif, merespon, sekaligus mengikuti perkembangan masyarakat atau bangsa yang diaktualisasikan dalam bentuk sikap dan perilaku yang bijak. Minimal dalam masyarakat kecil yang ada dalam pesantren.

“Santri” dari kata ta’ ialah: "tarkul ma'ashi" (meninggalkan kemaksiatan). Dengan dasar yang dimiliki kaum santri, khususnya dalam mempelajari syari'at, kaum santri diharapkan mampu mengaplikasikan apa yang telah mereka dapatkan dan sejauh mana pula ia memegang hubungan hablun minallah (hubungan vertikal kepada Allah) dan hablun minannas (hubungan horizontal dengan sosial masyarakat). Karena meninggalkan kemaksiatan tidak hanya mencakup pelanggaran-pelanggaran hukum yang telah ditetapkan-Nya, tetapi juga hubungan sosial dengan sesama makhluk, baik manusia ataupun yang lain.

“Santri” dari kata ra’  ialah: "raisul ummah" (pemimpin umat), dengan disiplin keilmuan yang dimiliki oleh santri diharapkan memberi angin segar bagi sebuah tatanan masyarakat indonesia yang mana dalam memimpin ummat untuk membangun sebuah peradaban yang dilandasi dengan sifat akhlaki.

Kesimpulan

Penjelasan secara umum diatas dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa terciptanya masyarakat indonesi yang terbebas dari tindak-tanduk keburukan harus menerepkan nilai-nilai yang ada pada jati diri seorang santri. Setiap masyarakat bahkan semua kalangan yang ada di Indonesia, baik kalangan biasa, orang yang mempunyai jabatan bahkan Presiden sekalipun ketika berinteraksi harus dilandasi dengan satru al-‘aurah, "tarkul ma'ashi"  yang ada pada santri dan intinya harus berakhlak.

Bagi santri harus memiliki peran serta tanggung jawab dalam hal membangun sosial kemasyarakatan. Di situlah diperlukan suatu mentalitas religius serta totalitas kesadaran, karena kaum santri-lah yang dapat dijadikan harapan dalam mengembalikan konsep-konsep ajaran Islam dan sebagai patron sebuah pergerakan dan peradaban.

Sebab, secara tidak langsung santri adalah generasi penerus perjuangan para ulama sekaligus pewaris para Nabi dalam mensyi’arkan dan meneruskan ajaran-ajaran Islam, baik dengan dakwah bil lisan (dengan ucapan/ceramah), dakwah bil kitabah (dengan karya/tulisan) maupun dakwah bil hal (dengan akhlak/perilaku). Maka, sudah seharusnya para santri dapat merealisasikan ilmu-ilmu yang didapat dari pesantren yang pernah disinggahinya. 

 

Yogyakarta, 22 Oktober 2018

#Selamat Hari Santri Nasional 2018