KEKUASAAN SANGAT DEKAT DENGAN KORUPSI

Muhammad –bagi umat Islam- adalah pemegang otoritas untuk menyampaikan, menjelaskan, mencontohkan, memberlakukan bahkan membuat aturan atau ajaran dalam Islam. Ia disebut Nabi atau the messenger of god, sehingga segala tingkah laku dan tindak tanduk darinya memiliki nilai ajaran bagi umat Islam. Maka kemudian dalam ajaran agama Islam dikenal rujukan beragama –selain al-Qur’an- yaitu Hadis. Hadis Nabi adalah verbalisasi dari ucapan, perbuatan, persetujuan (takrir) dan sifat Nabi, baik dari segi psikis maupun fisik. Dengan demikian, kita dapat mengambil pelajaran dari Nabi Muhammad untuk segala aspek, tidak terkecuali pendidikan antikorupsi.
Salah satu kata atau konsep yang digunakan Nabi ketika berbicara tentang perilaku korupsi adalah al-gulul, sebagaimana dikutip dari kitab/buku Shahih Muslim pada bab al-imarah (pemerintahan) hadis nomor 3415.
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمْنَاهُ مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُوْلاً يَأتِيْ بِهِ
“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan) lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih (kecil) darinya maka itu adalah gulul (penggelapan, korupsi) yang akan dia bawa (sebagai pertanggungjawaban) pada hari kiamat”
Dari hadis tersebut dapat dipahami bahwa korupsi menurut hadis adalah menyalahgunakan atau menggelapkan uang/harta kekayaan umum (negara, rakyat, atau orang banyak) untuk kepentingan pribadi, tanpa memandang nilai dari harta yang diselewengkan yang pada hadis tersebut dilambangkan dengan sebatang jarum. Hemat penulis, dengan kata jarum tersebut Nabi Muhammad ingin menyampaikan bahwa kejahatan korupsi tidak diukur dari nilai yang dikorupsi, akan tetapi upaya penggelapan itulah yang memang bernilai buruk, sehingga tidak peduli seremeh apapun yang diselewengkan. Yang kedua, kejahatan korupsi dalam jumlah besar dan massif bisa saja berasal dari kebiasaan menganggap remeh dan menganggap wajar menggunakan sesuatu milik umum yang ada dalam kuasanya untuk kepentingan pribadi atau untuk sesuatu yang bukan peruntukannya, sebutlah seperti menggunakan kertas kantor untuk mencetak makalah tugas kuliah dan contoh-contoh lain yang ada di sekitar kita.
Hadis tersebut juga memberi warning bahwa kekuasaan sangat dekat dengan perilaku korupsi, sehingga yang perlu dilakukan adalah memastikan bahwa kursi kepemimpinan diisi oleh orang-orang yang jauh dari indikasi yang dapat mengantarkan pada perilaku korupsi. Dalam ajaran Islam ada dua kategori yang harus menonjol pada diri calon pemimpin atau orang yang ingin dipekerjakan, yaitu al-qawiy al-amin, kuat dan tepercaya.
Makna “kuat” di sini antara lain adalah kemampuan mengelolah dan mengatur apa yang berada dalam kuasanya atau yang ia pimpin. Dalam peperangan misalnya, pemimpin yang kuat adalah panglima yang mampu mengatur strategi peperangan. Kuat juga bisa bermakna kemampuan menolak intervensi dari pihak lain yang dapat merugikan apa yang ia pimpin dan kemampuan menghindari hal-hal yang dapat menjerumuskannya kepada perilaku yang melanggar aturan seperti perilaku korupsi, suap, dan berbagai macam bentuk penyelewangan wewenang. Sebab, tidak jarang seorang pemimpin memiliki integritas, namun karena lemah untuk menolak pengaruh dan intervensi dari luar, ia kemudian terjerumus melakukan perilaku-perilaku tersebut, baik secara sadar atau dimanfaatkan oleh pihak lain. Abu Zar al-Gifari –salah seorang sahabat Nabi Muhammad- ditolak ketika meminta kepada Nabi untuk diangkat sebagai pemimpin. Ia dianggap dhaif atau “lemah” oleh Nabi, padahal Abu Zar adalah seseorang yang dikenal memiliki keluasan ilmu agama, kejujuran, dan loyalitas yang tinggi.
Adapun al-amin (tepercaya) adalah sikap integritas yang melekat pada diri seseorang yang biasa dilambangkan dengan kesesuaian ucapan dengan tindakan atau jujur, menunaikan janji, dan melaksanakan amanat yang diberikan. Orang yang amin memiliki kesadaran penuh bahwa ia bertanggungjawab terhadap sesuatu yang ada dalam kuasanya, sekecil apapun nilainya. Sikap ini juga erat kaitannya dengan keimanan atau keyakinan agamanya, sehingga jika sikap ini telah tertanam dalam dirinya sebagai bagian dari keimanan dalam agamanya maka akan sangat mempengaruhi kualitas dirinya, termasuk ketika menjadi pemimpin, sebab kesadaran beragama adalah bagian paling mendasar yang dapat memengaruhi mental dan kepribadian seseorang.
Jika menilik pada buku atau kitab hadis, kita akan menemukan beberapa teks hadis yang berkaitan dengan larangan korupsi atau tindakan penyalahgunaan wewenang lainnya dan ancaman bagi yang melakukannya. Hal ini menjadi indikator bahwa di samping sebagai musuh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, perilaku korupsi juga musuh kita sebagai umat beragama. Perilaku korupsi adalah cerminan dari sikap tak bertanggungjawab dan serakah atau tidak bersyukur atas apa yang dimiliki.
Penulis: Muhammad Irfan, S.Hd., M.Ag.
Magister Ilmu Hadis UIN Alauddin Makassar
Pendamping Sosial PKH Kab. Maros (Kemensos-RI)