BAB III UZLAH DAN KHALWAH (Bagian 2)

Dalam melakukan ‘uzlah banyak manfaatnya, di antaranya:
1. Selamat dari gunjingan, riya’, kemunafikan, sibuk dengan kemewahan dan permainan dunia.
2. Aman dari kebosanan teman, dari perlindungan yang selalu dicari musuh, dan dari sikap gembira atas kecelakaan yang menimpa orang lain.
3. Konsentrasi dalam mendapatkan ilmu dan hikmah.
Barangsiapa yang ingin melakukan ‘uzlah, sebaiknya mempersiapkan terlebih dahulu pengetahuan secara tepat yang akan memantapkan tauhidnya, agar tidak tergoda oleh bisikan rayuan setan dan pengetahuan tentang kewajiban-kewajiban agar dapat melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya sesuai dengan ketetapan dan dasar hukumnya secara akurat. Demikian juga, sebaiknya mengosongkan ingatan terhadap segala sesuatu, kecuali hanya pada ingatan Tuhannya semata, serta mengosongkan keinginannya terhadap segala sesuatu, kecuali hanya pada keinginan Tuhannya. Kemudian akan tercermin dari dalam dirinya akhlak mulia, dan terpantul dalam kepribadian dan ibadah yang baik. Dengan demikian, sesungguhnya esensi ‘uzlah di kalangan umat ialah menjauhi dan memisahkan diri dari segala sifat tercela.
Abu Yazid, maksudnya Abu Yazid al-Busthami, namanya ialah Thaifur ibn Isa ibn Syarwasyan. Syarwasyan adalah kakeknya seorang Majusi, lalu masuk Islam. Ia terdiri atas tiga bersaudara; Adam, Thaifur, dan Ali. Ketiganya adalah zuhud dan abid. Ia penduduk Bustham, wafat pada tahun 261 H. Ia pernah menyatakan: “Surga itu tidak pernah terlintas dalam pikiran orang-orang sampai pada tingkat mahabbah. Dan orang-orang yang sampai pada tingkat mahabbah ini akan terhijab oleh apa yang mereka cintai.” Selanjutnya lihat biografinya dalam Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’ Juz X h. 133; as-Sulami, Thabaqat ash-Shufiyyah h. 67; as-Sya’rani, ath-Thabaqat al-Kubra Juz I h. 89; Ibnu al-Ma’ad, Syadzarat adz-Dzahab juz II h. 143; Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah Juz XI h. 35; al-jami, Nafahat al-Uns h. 171; al-Qusyairi, ar-Risalah h. 17; al-Baghdadi, Hadiyyah al-‘Arifin Juz I h. 434; al-Manawi, al-Kawakib ad-Durriyah Juz I h. 442; al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub h. 106; Ibnu Taghri Bardi, an-Nujum az-Zahirah Juz III h. 25; an-Nabhani, Jami’ Karamat al-Auliya’ Juz II h. 133, Muhaqqiq).
Beliau mengatakan: “Aku melihat Tuhanku dalam mimpi, lalu aku bertanya: “Bagaimana caranya aku sampai kepada-Mu?” Allah menjawab: “Tinggalkan dirimu, dan kemarilah!” Yahya ibn Mu’adz mengatakan: “Barangsiapa yang merasakan ketenangan dengan cara khalwat, maka ketenangannya pun akan hilang ketika ia berhenti khalwat. Barangsiapa yang merasakan ketenangan dengan Allah dalam khalwatnya, maka sama saja baginya semua tempat di muka bumi ini.
Abu Bakar al-Warraq, namanya Muhammad ibn Umar al-Hakim berasal dari Tirmidz, namun tinggal dan menetap di Balkhan. Ia bertemu dan belajar kepada Ahmad ibn Hambal, Muhammad ibn Sa’ad az-Zahid, dan Muhammad ibn Umar ibn Khasynam al-Balkhi. Ia mempunyai beberapa karya tulis dalam masalah ar-riyadhah, muamalah, dan etika. Ia wafat pada tahun 280 H. Selanjutnya lihat biografinya dalam as-Sulami, Thabaqat ash-Shufiyah, h. 221; al-Jami, Nafahat al-Uns h. 417; al-Qusyairi, ar-Risalah h. 20; al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub h. 17; Kuhhalah, Mu’jam al-Muallifin Juz XI h. 78; al-Manâwi, al-Kawakib ad-Durriyah Juz I h. 581, Muhaqqiq.
Beliau mengatakan: “Aku telah memperoleh yang terbaik dari dunia dan akhirat dalam ‘uzlah dan khalwat, dan memperoleh yang terburuk dari keduanya dalam pergaulan dengan manusia.
Asy-Syibli, namanya ialah Abu Bakar Dulaf ibn Jahdar. Biasa juga disebut Ibnu Ja’far atau Ja’far ibn Yunus. Dilahirkan dan dibesarkan di Baghdad. Ia belajar kepada Junaid dan ulama semasanya. Dan berteman dengan al-Hallaj. Ia pernah berkata: “Aku berpendapat sama dengan pendapat al-Hallaj, hanya saja bahwa beliau itu sudah sampai pada tingkat kasyaf. Wafat pada tahun 334 H dan dimakamkan di pekuburan Khizan. Selanjutnya lihat biografinya dalam as-Sulami, Thabaqat ash-Shufiyyah h. 337; Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’ juz X h. 366; Ibnu al-Ma’ad, Syadzarat adz-Dzahab Juz II h. 338; Akhbar al-Hallaj yang telah kami tahqiq h. 48; Ibnu Katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah Juz XI h. 215; as-Sya’rani, ath-Thabaqat al-Kubra Juz I h. 121; al-Jami, Nafahat al-Uns h. 521, Muhaqqiq).
Beliau mengatakan: “Tanda kerusakan adalah sikap ramah terhadap sesama manusia. Dikatakan “Jika Allah menghendaki seseorang pindah dari lembah kehinaan maksiat ke derajat kemuliaan ketaatan, Dia memberi rasa ketenangan dengan kesendirian, merasa kaya dalam kesederhanaan, mampu melihat kekuranagn dirinya. Barangsiapa telah dianugerahi semua ini, maka ia telah memperoleh yang terbaik dari dunia dan akhirat.
Ketahuilah, sesungguhnya mendapat taufik untuk dapat melakukan ‘uzlah adalah suatu pertanda adanya kebahagiaan abadi, sebab orang yang telah bercampur-baur dengan sesama manusia, ia akan saling menaruh perhatian sesama mereka. Orang yang hidup dengan saling menaruh perhatian, membuat ia akan hidup dengan berpura-pura. Orang yang hidup dengan berpura-pura berarti ia munafik. Orang munafik akan mendapatkan posisi paling rendah dalam neraka, sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an.
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. (QS. An-Nisa’/4: 145).
(Wajidi Sayadi, Pontianak, 15 Februari 2019)