BAB I : TAUBAT (Bagian 4)

Adapun taubat nasuha adalah taubat yang benar-benar dilandasi ketulusan hati secara murni. Dikatakan juga bahwa taubat nasuha ialah taubat yang tidak pernah mengulangi lagi selamanya. Yahya ibn Mu’adz (nama lengkapnya Abu Zakaria Yahya ibn Mu’adz ibn Ja’far ar-Razi al-Wâ’idz, seorang tokoh sufi yang sangat baik pembahasannya mengenai pengetahuan “harapan” (ar-raja’) dan termasuk meriwayatkan hadis. Ia wafat di Naisabur pada tahun 258 H. Lihat biografinya dalam Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliyâ’ Juz I h. 51; Ibnu al-Jauzi, Shifah ash-Shafwah Juz IV h. 71; as-Sya’râni, ath-Thabaqât al-Kubrâ Juz I h. 94; ar-Risâlah al-Qusyairiyah h. 21; as-Sulami, Thabq±t ash-Shfiyah h. 107; Ibnu al-Ma’ad, Syadzarat adz-Dzahab Juz II h. 138; al-Jâmi, Nafhât al-Uns h. 166; al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb h. 122; Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah Juz XI h. 13; al-Baghdadi, Hidâyah al-‘Arifin Juz II h. 516, Ibnu Taghri Bardi, an-Nujûm az-Zâhirah Juz III h. 30; dan al-Manawi, al-Kawâkib ad-Durriyah Juz I h. 496, (Muhaqqiq).
Beliau mengatakan: “Melakukan satu perbuatan dosa setelah taubat jauh lebih buruk dari pada melakukan 70 perbuatan dosa sebelum taubat. Kata Dzun Nun: “Beristighfar dari dosa tanpa berusaha melepaskan diri dari dosa itu adalah taubatnya para pendusta. Barangsiapa bertaubat, kemudian tidak membatalkan taubatnya, maka ia termasuk orang bahagia. Jika ia membatalkannya sekali atau dua kali kemudian mengulanginya lagi, maka ia masih diharapkan tetap pada sikap taubatnya, sebab segala sesuatu telah ditetapkan ajalnya. Diriwayatkan dari Abu Hafash al-Haddad (Nama lengkapnya Amr ibn Salamah an-Naisaburi, berasal dari desa Kuradabadz dalam wilayah kekuasaan Naisabur. Seorang tokoh dan guru Abu Usman al-Hairi, Wasyah ibn Syuja’ al-Kirmani, dan lain-lain. Ia wafat pada tahun 264 H. Ia pernah berkata: “Kebaikan yang tampak dalam perilaku luar menandakan kebaikan dalam batin. Biografinya dapat dilihat dalam al-Jâmi', Nafhât al-Uns h. 178; as-Sulami, Thabaqât ash-Shufiyah h. 116; Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliyâ’ Juz X h. 229; ar-Risâlah al-Qusyairiyah h. 22; al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb h. 123; Ibnu Taghri Bardi, an-Nujûm az-Zâhirah Juz III h. 66; dan Ibnu al-Jauzi, Shifah ash-Shafwah Juz IV h. 98, (Muhaqqiq).
Ia pernah berkata: “Dulu aku meninggalkan perbuatan begini sekali, lalu kemudian aku kembali lagi kepadanya. Kemudian aku meninggalkannya lagi dan tidak mengulanginya lagi. Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq (Nama lengkapnya al-Hasan ibn Ali an-Naisaburi as-Syafi’i, seorang tokoh dan imam yang cerdas dan luas ilmunya. Ia pernah berkata: “Pohon yang tumbuh dengan sendirinya tanpa ditanam oleh seseorang, daunnya rindang, tapi tidak berbuah. Begitu juga seorang murid tanpa bimibngan seorang guru, maka ia tidak membuahkan hasil. Ia wafat pada tahun 405 H atau 406 H. Biografinya lihat dalam al-Manâwi, al-Kawâkib ad-Durriyah Juz I h. 623; Ibnu al-Ma’ad, Syadzarât adz-Dzahab Juz III h. 180; dan Kahhalah, Mu’jam al-Muallifîn Juz III h. 261, (Muhaqqiq).
Beliau mengatakan, ada sebagian murid bertaubat, lalu kemudian meninggalkan taubatnya. Pada suatu hari ditanyakanlah, jika ia kembali lagi bertaubat, apakah taubatnya masih diterima? Tiba-tiba terdengar suara yang menjawabnya: “Hai Fulan, engkau telah mentaati kami, maka kami pun berterima kasih kepadamu. Kemudian engkau meninggalkan kami, maka kami pun menangguhkanmu. Jika engkau kembali lagi bertaubat, maka kami akan menerimamu.” Lalu murid itu kembali bertaubat dan tercapailah apa yang dituju.
Seseorang yang telah bertekad untuk bertaubat, pertama kali yang harus dilakukan adalah melunasi segala macam bentuk kezaliman yang pernah dilakukan terhadap sesamanya dan mengembalikan kepada hak-hak mereka. Jika tidak mampu melakukan hal itu, maka ia tetap harus berusaha kapan ia mampu mengembalikan kepada mereka yang berhak menerimanya. Selalu mendoakan bagi pemiliknya yang berhak menerima agar ia terbebas dari padanya. Kemudian ia menghindari dan memutuskan hubungannya dengan yang lain untuk menuju kedekatan diri kepada Allah. Mengganti segala hak dan kewajibannya kepada Allah yang luput dilakukan selama ini. Menyesali dan menangisi terhadap apa yang dilalaikan selama ini sehingga jauh dari Allah dan menyia-nyiakan waktu muda dan sehatnya.
Ketahuilah, bahwa seorang pendosa tidak sepantasnya putus asa dari rahmat Allah dalam menerima taubat mereka, walaupun dosa mereka banyak dan besar serta berulang-ulang membatalkan taubatnya dan bergelimang dalam dosa, sebab putus asa itu merupakan kesalahan fatal dan justru menjadi penyebab untuk semakin tenggelam dalam lumpur dosa selamanya.
Jika Anda diperhadapkan dengan kondisi seperti ini, maka sebaiknya yakinkan dalam diri Anda bahwa hal itu adalah tipu daya setan yang selalu menghalangi manusia untuk bertaubat dan selalu menggoda agar tetap melakukan dosa seumur hidup. Na’udzu billahi min dzalika.
Adapun obat dari penyakit seperti itu, ialah seorang pendosa hendaknya merenungkan firman Allah berikut ini.
وَلاَ تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللهِ
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah". (QS. Yusuf/12: 87).
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لاَ تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللهِ إِنَّ اللهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. (QS. Az-Zumar/39: 87).
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An-Nisa/4: 116).
Ayat-ayat dalam al-Qur’an seperti ini sangat banyak.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, katanya, ada dua ayat dalam al-Qur’an, yang jika dibaca oleh orang berdosa, lalu memohon ampunan kepada Allah, niscaya dosa-dosanya akan terampuni. Ayat yang dimaksud ialah:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ
Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imran/3: 135).
وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللهَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 110).
Sesungguhnya esensi taubat didasarkan pada jalan dan sumber seperti yang dikemukakan di atas. Jika taubat dijalankan secara tepat dan ikhlas semata hanya karena Allah, maka seluruh prosesinya akan berjalan dengan baik dan sempurna. Jika sebagian persyaratannya tidak terpenuhi atau tujuannya tercemari oleh polusi keduniaan, seperti hanya karena tuntutan reputasi dan popularitas serta menarik perhatian orang lain, dan yang semacamnya, maka taubat seperti ini bagaikan sebuah bangunan di atas pinggir sungai yang diruntuhkan oleh derasnya banjir dan terhanyut sampai ke jurang neraka jahannam. Na’udzu billahi min dzalika!
(Wajidi Sayadi, Pontianak, 11 Februari 2019)
Bersambung...