BAB I: TAUBAT (Bagian 2)

SHARE

As-Sariy, nama lengkapnya Abu al-Hasan as-Sariy ibn al-Mughallas as-Saqathi. Disebutkan bahwa ia adalah paman dari Junaid sekaligus menjadi gurunya dan rekanan dengan Ma’ruf al-Karkhi. As-Sariy merupakan pelopor yang membahas persoalan “tauhid” dan hakikat ahwal di Baghdad dan sebagai imam dan guru para ulama Baghdad. Ia wafat pada tahun 251 H. Biografinya dapat dilihat dalam Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’ Juz I h. 116; as-Sulami, Thabaqât ash-Shufiyah h. 48; Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah Juz XI h. 13; Ibnu al-Ma’ad, Syadzarat adz-Dzahab Juz II h. 127; al-Qusyairi, ar-Risâlah h. 12; Ibn al-Jauzi, Shifah ash-Shafwah Juz IIh. 209; as-Sya’rani, ath-Thabaqât al-Kubra Juz I h. 86; Ibnu Taghri Bardi, an-Nujûm az-Zâhirah Juz II h. 235 al-Manâwi, al-Kawâkib ad-Durriyah Juz I h. 416; An-Nabhâni, Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’ Juz II h. 21; dan al-Jâmi, Nafahât al-Uns h. 155. (Muhaqqiq).

Beliau pernah ditanya mengenai taubat, ia menjawab, bahwa taubat ialah engkau melupakan dosa-dosamu. Sementara, al-Junaid, nama lengkapnya Abu al-Qasim Junaid ibn Muhammad al-Khazzar. Ayahnya seorang penjual kaca, karenanya ia sering disebut al-Qawariri. Ia berasal dari Nahawand yang jarak tempuhnya tiga hari perjalanan dari Hamdzan, namun lahir dan besar di Irak. Ia seorang ulama dan ahli fikih, khususnya dalam madzhab Abu Tsaur. Serekanan dengan pamannya as-Sariy as-Saqathi dan al-Harits al-Muhasibi, dan berbagai tokoh dan ulama lainnya. Ia wafat pada tahun 297 H. Lihat biografinya dalam Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliyâ’ Juz X h. 255; al-Jâmi, Nafhât al-Uns h. 256; al-Manâwi, al-Kawâkib ad-Durriyah Juz I h. 376; Ibnu Katsir, al-Baidâyah wa an-Nihâyah Juz XI h. 113; as-Sulami, Thabaqât ash-Shufiyah h. 155; as-Sya’râni, ath-Thabaqât al-Kubrâ Juz I h. 98; Ibnu al-Ma’ad, Syadzarât adz-Dzahab Juz II h. 228; dan an-Nabhâni, Jâmi’ Karâmât al-Auliyâ’ Juz II h. 11. (Muhaqqiq), juga ditanya dengan pertanyaan sama, namun jawabannya berbeda. Menurut al-Junaid, taubat ialah engkau tidak lupa terhadap segala dosa yang pernah dilakukan.

Pandangan kedua tokoh sufi ini, tidak kontradiksi, tapi justru keduanya benar, sebab terminologi taubat menurut as-Sariy adalah taubat dalam konteks khawas, yakni mereka tidak lagi mengingat dosa-dosa, sebab hati mereka telah dipenuhi dengan rasa keagungan Allah dan ingat kepada-Nya secara terus menerus. Sedangkan terminologi taubat yang dikemukakan al-Junaid adalah dalam konteks masyarakat awam dalam memulai menempuh jalan menuju kedekatan kepada Allah.

Taubat terbagi atas tiga macam, yaitu 1) Taubat dari segala kesalahan dan dosa, inilah taubatnya masyarakat awam. 2) Taubat dari kelalaian dari ingat kepada Allah, inilah taubatnya orang khawas. 3) Taubat dari penglihatan terhadap segala kebaikan, inilah taubatnya orang khawas al-khawas.

(Muhaqqiq: Pengarang kitab ar-Risâlah al-Qusyairi menyebutkan, bahwa ia mendengar Muhammad ibn Ahmad ash-Shufi berkata: “Aku mendengar Abdullah ibn Ali ibn Ahmad at-Tamimi mengatakan, bahwa jauh berbeda antara orang yang taubat dari dosa, dengan yang taubat dari kelalaian, dan taubat dari penglihatannya terhadap kebaikan).

Orang yang taubat karena takut siksaan disebut taubat. Orang yang taubat karena ingin meraih pahala, disebut inabah, dan orang yang taubat bukan karena takut atau pahala, tapi hanya semata-mata karena menuruti perintah disebut aubah.

Taubat merupakan sifat orang-orang beriman. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam al-Qur'an.

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur/24: 31).

Inabah merupakan sifat para wali dan muqarraibn. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam al-Qur'an.

وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ

Dan dia datang dengan hati yang bertaubat. (QS. Qaf/50: 33).

Aubah merupakan sifat para Nabi dan Rasul. Hal ini didasarkan pada firman Allah mengenai kebenaran Nabi Ayyub AS. dalam al-Qur'an.

نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ

Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat ta`at (kepada Tuhannya). (QS. Shad/35: 44).

Dengan demikian, taubat itu dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian:
1. Taubat masyarakat awam, yaitu kembali dari segala kemaksiatan menuju kepada ketaatan dengan cara meninggalkan (pengaruh dan keterikatan) dunia dan mencari kehidupan akhirat.
2. Taubat khawas, yaitu kembali dari mencari akhirat dan kenikmatan surga menuju pada ibadah kepada Allah hanya semata karena zat-Nya yang Maha Suci, bukan karena mencari pahala dan bukan pula karena takut akan siksaan.

Oleh karena itu, taubatnya masyarakat awam justru sebagai sebuah dosa bagi kalangan orang-orang khawas. Sebagaimana dalam hadis Rasulullah SAW. 

حَسَناَتُ اْلأَبْراَرِ سَيِّئاَتِ الْمُقَرَّبِيْنَ

“Kebaikan orang-orang saleh merupakan kejahatan orang-orang muqarrabin.”

(Muhaqqiq: Menurut al-‘Ajluni dalam buku Kasyf al-Khafâ’, bahwa riwayat ini adalah pernyataan Abu Said al-Kharraz seorang tokoh dan ulama besar sufi yang wafat pada tahun 280 H, sebagaimana diriwayatkan Ibnu `Asakir. Di samping itu ada juga yang menyatakan bahwa riwayat tersebut adalah pernyataan Dzin Nun al-Mishri. Namun sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa riwayat tersebut adalah hadis. Az-Zarkasyi mengemukakan bahwa Syaikh al-Islam dalam komentarnya mengatakan: “Perbedaan antara al-Abrar dan al-Muqarraibn. Al-Muqarraibn adalah mereka menunaikan hak-hak Tuhan dengan ibadah yang hanya mencari semata-mata ridha Allah. Sedangkan al-Abrar adalah mereka mengerjakan berbagai amal saleh dan maqam-maqam keyakinan untuk mendapatkan balasan dengan derajat tinggi. Lihat dalam al-‘Ajluni, Kasyf al-Khafâ’ Juz I h. 356/1137).

Kemudian al-Khawas terbagi dua lagi, yaitu al-‘Arifun dan al-Muqarrabun. Al-Muqarrabun adalah Khawas al-Khawas. Hubungan antara al-‘Arifun dengan al-Muqarrabun, adalah sama dengan hubungan seorang pemula dalam menempuh jalan kegiatan suluk dengan orang yang sudah sampai pada tingkat ma’rifah.

Bersambung...

(Wajidi Sayadi, Pontianak, 9 Februari 2019)