BAB I: TAUBAT (Bagian 1)

SHARE

Taubat secara bahasa berarti kembali dari dosa. Term taubat mempunyai pengertian yang sama dengan taub, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an. 

غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ

Yang Mengampuni dosa dan Menerima taubat. (QS. Al-Mu’min/40: 3).

Ada juga yang berpendapat bahwa, term taub adalah bentuk jamak dari taubat. Adapun secara terminologi, taubat adalah kembali dari sesuatu yang tercela menuju kepada yang terpuji, baik dalam bentuk sikap dan perilaku, maupun dalam bentuk perkataan. Umumnya para ulama menilai bahwa taubat ini wajib dilakukan dalam waktu segera. Hal ini didasarkan pada firman Allah.

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur/24: 31).

Taubat itu harus segera dilakukan, sebab menunda taubat, berarti membiarkan diri tenggelam di alam kemaksiatan yang tercela.

(Muhaqqiq: Hal ini didasarkan pada sebuah hadis Rasulullah SAW. 

مَا أَصَرَّ مَنْ اسْتَغْفَرَ وَإِنْ عَادَ فِي الْيَوْمِ سَبْعِينَ مَرَّةٍ

“Orang yang beristigfar, tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang bergelimang dalam dosa, walaupun ia mengulanginya sampai 70 kali dalam sehari.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud bersumber dari Abu Bakar).

Dalam hadis lain disebutkan:

لاَصَغِيْرَةَ مَعَ الإِصْراَرِ وَلاَكَبِيْرَةَ مَعَ اْلإِسْتِغْفاَرِ

“Tidak ada dosa kecil selama ia tetap melakukannya secara terus menerus, dan tidak ada dosa besar selama ia tetap beristigfar.” HR. Abu as-Syaikh dan Dailami bersumber dari Ibnu Abbas).

Adapun pengertian inâbah adalah hampir sama dengan taubat, baik secara bahasa maupun secara terminologi. Taubat dalam perspektif ahli hakikat adalah menyesali terhadap masa lalu yang buram dan tetap konsisten dalam pertaubatan. Ada juga yang berpendapat, bahwa taubat ialah menyesali terhadap apa yang luput ia lakukan, dan berusaha memperbaiki apa yang akan datang. Ada juga berpendapat, bahwa taubat itu ialah menghindari sikap menunda-nunda taubat itu sendiri. Sebagian ulama ahli hakikat berpandangan bahwa taubat ialah kembali dari segala sesuatu selain Allah dan memutuskan segala ketergantungannya kepada selain Allah. Sebagaimana dalam firman Allah:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا 

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi/18: 110).

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW. dan berkata kepada Beliau: “Sesungguhnya aku ini bersedekah karena mengharap ridha Allah, namun aku juga senang disebut-sebut orang sebagai orang baik, dengan kasus ini, maka turunlah ayat tersebut (QS. Al-Kahfi/18: 110).

(Muhaqqiq: As-Suyuthi menyebutkan hadis dalam ad-Durr al-Mantsûr Juz V h. 469 bersumber dari Mujahid: “Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW., katanya: “Sesungguhnya aku bersedekah dan menyambung hubungan silaturrahim karena Allah, namun aku juga ingin mendapatkan popularitas dan pujian. Ibn al-Mundzir, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Marduwaih, dan Baihaqi meriwayatkan dalam Syu’ab al-Iman bersumber dari Ibnu Abbas meriwayatkan tentang firman Allah dalam QS. Al-Kahf: 110, katanya: “Ayat ini turun mengenai orang-orang musyrik yang menyembah Allah dan juga tuhan-tuhan lain.)

Kata Dzun Nun (Muhaqqiq: Namanya Abu al-Faidh Tsauban ibn Ibrahim al-Ikmimi al-Mishri, wafat 248 H. Dia termasuk meriwayatkan beberapa hadis, di antaranya: “Dunia adalah penjara bagi orang yang beriman, dan surga bagi orang kafir.” Biografinya dapat dilihat dalam al-Kaukab ad-Durri fî Manâqib Dzin Nun al-Mishri karya Ibn ‘Arabi; Abu Nu’aim, Hilyah al-Auliya’ Juz IX h. 231; as-Sya’rani, ath-Thabaqât al-Kubra Juz I h. 81; ar-Risâlah al-Qusyairiyah h. 10; Ibn al-Jauzi, Shifah ash-Shafwah Juz IV h. 287; Ibnu al-Ma’ad, Syadzarat adz-Dzahab Juz II h. 107; as-Sulami, Thabaqât ash-Shufiyah h. 15; Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah Juz X h. 347; al-Manâwi, al-Kawâkib ad-Durriyah Juz I h. 400; An-Nabhâni, Jâmi’ al-Karâmât al-Auliyâ’ Juz I h. 623; dan Ibnu Taghri Bardi, an-Nujûm az-Zâhirah Juz I h. 320).

Beliau mengatakan: “Esensi taubat ialah engkau merasa sempit di atas bumi yang telah diluaskan bagimu, dan jiwamu merasa terhimpit serta meyakini bahwa tidak ada tempat lari dan perlindungan dari (siksa) Allah, kecuali hanya kepada-Nya saja. Pandangannya ini didasarkan pada firman Allah dalam al-Qur'an.

وَعَلَى الثَّلاَثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَنْ لاَ مَلْجَأَ مِنَ اللهِ إِلاَّ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taubah/9: 118).

(Muhaqqiq: Tiga orang yang dimaksudkan dalam ayat tersebut ialah Ka’ab ibn Malik, Hilal ibn Umayyah, dan Mirarah ibn Rabi’ah. Mereka ini adalah warga Madinah. Ibnu Marduwaih meriwayatkan bersumber dari Anas ibn Malik, katanya, ketika Rasulullah SAW. tiba di Dzi Awan, orang-orang Munafik yang ketinggalan (tidak ikut perang) keluar menemui Nabi SAW. Lalu beliau bersabda kepada sahabatnya: “Janganlah ada yang mengajak bicara dengan orang yang ketinggalan dari kita, dan jangan bergaul dengan mereka hingga kalian diizinkan, sehingga mereka pun tidak ada yang mengajak bicara dengan mereka. Ketika Rasulullah SAW. tiba di Madinah orang-orang tersebut datang menemui dan memberi salam kepada beliau. Namun Nabi SAW. membelakangi mereka, dan para sahabat pun ikut membelakangi mereka, hingga ada seseorang membelakangi terhadap sesama saudaranya sendiri, ayah, dan pamanya. Lalu kemudian, orang-orang itu datang kepada Rasulullah SAW. dan mengemukakan alasan mereka sehingga tidak sempat ikut perang, yaitu karena alasan beban berat dan sakit. Mendengar keterangan mereka ini, Rasulullah SAW. senang dan sayang terhadap mereka hingga mengajak mereka untuk dibai’at. Akhirnya Rasulullah SAW. memohonkan ampun bagi mereka.)

(Wajidi Sayadi, Pontianak, 8 Februari 2019).

Bersambung dibagian 2 ...