5 (Lima) Fakta Salafiyah Parappe adalah Benteng dari Virus Faham Radikalisme

Tulisan ini mencoba menggali kearifan lokal (local wisdom) yang unik di Pondok Pesantren Salafiyah Parappe yang penulis anggap sebagai catatan penting yang memberikan warna terang bahwa pesantren pada umumnya dilahirkan sebagai benteng pertahanan generasi muda dari virus faham radikalisme dan terorisme.
Fakta kenapa pondok pesantren ini dapat menjadi benteng dari paham radikalisme dan terorisme tentu lahir tidak dengan sendirinya tapi dari serangkaian pengamatan panjang penulis selama ini. Lima diantaranya adalah :
Pertama, dari sisi kurikulum yang diajarkan. Pesantren Salafiyah Parappe telah memiliki buku/kitab standar yang tidak memungkinkan membuka ruang santri untuk menjadi radikal dan pelaku teror. Kitab-kitab standar dalam bidang fikih, tafsir, hadits, ilmu alat, tata bahasa, aqidah, tasawwuf dan lain-lain mudah dilacak. Sebagai contoh, saat belajar fikih Safinatunnajah, Fathul Qarib dan Fathul Muin ataupun kitab teologi/aqidah seperti Kifayatul ‘Awam, Ummu Al-Barahim yang merupakan kitab syarah dari Al-Dasuki, tidak ada sama sekali didalamnya ada anjuran tentang jihad fisik dalam arti bebas. Kalau toh belajar tentang konsep jihad, khilafah, ar-raiyyah (kepemimpinan), dan lain-lain tidak sedikitpun berfikir tentang pendirian negara Islam untuk mengganti Pancasila. Konsep jihad yang diajarkan berarti luas, tidak hanya memanggul senjata, kecuali dalam kondisi perang seperti era perjuangan kemerdekaan. Apalagi harus membunuh sesama muslim yang berbeda paham keagamaan. Sama sekali tidak terbetik dalam otak santri untuk menyakiti mereka.
Kedua, Kebiasaan berbeda pendapat. Perbedaan pendapat dalam memahami teks dan konteks dalam kitab kuning yang tak berbaris itu menjadi fenomena biasa di dunia pesantren tidak terkecuali pada Salafiyah Parappe yang biasa dilakukan oleh santri dalam kegiatan diskusi Usbu’iyyah/syahriyyah maupun bahtsul masail yang merupakan forum adu argumentasi berbasis kitab kuning, meski kadang kala mentok pada urusan i'rab nahwiyahnya, akan tetapi budaya itu telah membentuk watak santri menjadi lebih toleran dibandingkan dengan non pesantren.
Ketiga, struktur budaya Nangguru-anak guru (Kyai-santri) menjadi faktor kunci tumbuhnya sikap keberagamaan yang menjunjung tinggi terhadap pemimpin dan menghargai santri sebagai penuntut ilmu yang mencoba mencari berkahnya. Selama pesantren dipimpin oleh kyai yang memiliki basis ilmu dan sosial yang jelas, maka hampir mustahil akan melahirkan kader radikal yang bertentangan dengan tradisi pesantren. Pada saat yang sama, budaya yang dibangun di kalangan santri adalah kesamaan tekad untuk “Angngitai barakka pole Nangguru (ngalap berkah)” yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk ketaatan dan terus dibawa dalam proses kehidupan selanjutnya. Bisa dilihat bagaimana tingkat ketaatan santri terhadap kyainya, cium tangan, berhenti dan menundukkan kepala saat kyai datang. Hubungan sosial kyai-santri telah membentuk watak yang saling peduli dengan spirit keberkahan tidak akan menggiring orang untuk berbuat nista dengan menyakiti sesama meskipun berbeda.
Keempat, pengajaran tradisi sufisme ala pesantren sangat mewarnai cara pandang dan perilaku keberagamaan masyarakat pesantren Salaf secara umum. Salah satu tokoh sufi yang dijadikan rujukan penting melalui kitabnya, Ihya Ulumid Diin, Imam Al-Ghazali telah membentuk watak santri yang tawadhu, qanaah, ikhlas, dengan amalan wirid dan majahadah yang intensif telah menjadikan komunitas santri lebih bisa hidup sederhana, dan tidak ingin beragama secara berlebihan.
Kelima, Kewajiban menghafal Pancasila dan upacara 17 Agustus. Amanah KH. Abd. Latif Busyra yang mewajibkan santri-santrinya untuk menghapalkan pancasila dan kewajiban mengikuti upacara kemerdekaan setiap tgl 17 Agustus sejak dahulu meski harus memakai sarung dan kadang menjadi bahan tertawaan peserta upacara lainnya adalah salah satu bukti kecil upaya beliau untuk menanamkan di dada santri rasa cinta pada NKRI sebagai tempat lahir, berbakti, dan masa depannya kelak.
Berdasarkan ulasan tersebut jelas sekali bahwa pesantren ini dan sekali lagi pondok pesantren lainnya secara umum sejatinya patut jadi model pendidikan yang dapat membentengi generasi kita dari virus radikalisme dan terorisme yang belakangan mewabah di kalangan anak-anak muda Indonesia. Dengan fakta-fakta ini maka wajar dan seharusnya pemerintah dan negara mendukung, memfasilitasi dan turut mengembangkan pesantren agar tetap eksis berkiprah membangun negeri.@
(By Subhan Hawaya pada pada tgl 30 Sya’ban 1439 H./16 Mei 2018 M.)